Perjuangan Penyintas COVID-19 Menghapus Stigma Buruk Sampai Perundungan


Stigma Negatif diberikan masyarakat kepada warga sedang melakukan isolasi mandiri. (Unsplash-Annie Spratt)
NIA acap beroleh tatapan sinis tetangga. Mereka terlihat berbicara bisik-bisik, sengaja membuang muka, dan terkadang dibarengi jari menunjuk ke arah rumah dengan stiker berwarna merah menempel di pagar bertulis, "Penghuni rumah ini sedang melakukan isolasi mandiri”.
Belakangan, setelah stiker tersebut menempel di pagar, beberapa tetangganya bertingkah cukup janggal. Nia, mula-mula menganggap angin lalu, kemudian mulai merasa risih. Terlebih saat sedang merasa tertekan akibat rasa takut, cemas, akibat divonis terpapar COVID-19.
Baca juga:
Di rumahnya, ia dan suaminya beroleh hasil positif COVID-19 sehingga untuk sementara berpisah dari anak-anaknya. Kondisi kesehatannya memang tak mengalami penurunan secara drastis. Namun, beban pikiran sering lebih sulit dilakoninya setiap saat. Apalagi kabar ganasnya COVID-19 varian Delta telah memakan banyak korban jiwa sehingga menambah rasa cemas.
Reaksi negatif beberapa tetangga mungkin didasari rasa takut karena paparan COVID-19 begitu dekat dengan mereka. Perasaan takut terpapar memang, namun bukan berarti bisa terus berprasangka buruk kepada para penyintas atau orang sedang isoman.

Jika sikap ini terus bersarang di benak masyarakat, justru dapat membuat para pelaku isoman semakin terpuruk, mungkin akan semakin parah saat keadaannya sudah menguncilkan sehingga bantuan tak kunjung datang.
Sejak 28 Juni 2021, Nia dan suami mengalami masa sulit harus berjuang pulih dari paparan COVID-19 dan stigma buruk beberapa tetangga.
Bila ditelusuri, paparan pertama di keluarganya terjadi saat suaminya nan bekerja di bidang otomotif bersentuhan dengan klien berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG). Dari situ, paparan virus masuk rumah, lalu berpindah pada Nia.
Baca Juga:
Suami-istri tersebut bisa terpapar meski selalu menaati protokol kesehatan secara ketat, dan rajin mencuci tangan. Hasil antigen Nia memang negatif, namun bersikukuh ikut isoman di rumah bersama suaminya.
Jika biasanya, setiap pukul delapan pagi Nia memiliki rutinitas menyapu bagian luar rumahnya. Selama isoman, ia menghindari bagian luar rumah. Memulai aktivitas lebih pagi rela dilakukan Nia untuk menghindari pandangan sinis dari beberapa orang melewati halaman rumahnya.
“Jadi kalau mau keluar rumah di pagar harus buru-buru. Kalau sekiranya ada orang lewat langsung otomatis lari ke dalam rumah,” ucap Nia.

Rasa takutnya ini harus ditimpa dengan terus mendengar kabar duka terhadap orang terdekat, kerabat, maupun teman, dan rasanya hampir setiap hari didengar.
Kabar duka tersiar mulai dari pelantang suara di lingkungan sekitar, maupun lewat beberapa grup percakapan.
Namun Nia bersyukur dirinya hanya mendapatkan perlakuan bisa dibilang lebih ringan jika dibandingkan para penyintas lain. Bahkan, sudah selesai masa isoman, atau telah dinyatakan sembuh pun perlakuan buruk terhadap penyintas masih ditemukan.
Sita Tyasutami, kasus 01 COVID-19 asal Depok, Jawa Barat hingga kini masih terkena perundungan di sosial media. Ia bahkan beroleh pesan singkat, Whatsapp, hingga telepon anonim memaki-makinya sebagai penyebar COVID-19 di Indonesia.

Merasa tak seperti dituduhkan, Sita meladeni dengan santai. Meski berkali-kali kata kasar muncul dari lawan bicara. Belum selesai dengan satu nomor anonim, muncul lagi dari nomor tak dikenal lain. "Aku gatau darimana orang-orang dapet nomor aku. Akhirnya aku blokir aja nomornya," ucap Sita kepada merahputih.com.
Sita sempat mengalami masa terpuruk saat banyak orang justru mengalamatkan kekesalan terhadap COVID-19 kepadanya. Ia sempat menutup akun media sosial. Setelah beroleh nasihat dari sang kakak, Sita akhirnya kembali aktif di media sosial khusus sebagai platform media positif kepada para penyintas.
Bagi Sita, hujatan dilayangkan kepadanya masih bisa diterima dengan lapang dada. Namun, lanjutnya, bila sudah menyangkut soal orang tuanya tidak bisa diterima begitu saja.

"Yang bikin aku sakit hati banget, ketika ibu dikatain (cela) segala macem. Mereka bukan hanya ngatain aku pelacur, tapi ngatain ibu aku juga. Siapa sih anak yang enggak sakit hati ibunya digituin. Ya aku marah lah," ujar Sita naik pitam atas ulah perundungan warganet.
Perilaku buruk atau stigma terhadap para penyintas merupakan pukulan kedua bagi para pelaku isoman, penyintas, setelah COVID-19 sendiri. Di sisi lain, Nia tak henti-henti bersyukur saat isoman, orang-orang terdekat tetap memberikan dukungan.
Tak hanya secara tersurat, kerabat terdekat Nia tak henti-hentinya mengirimkan bantuan baik mengirimkan makanan, bahan mentah bisa dimasak, buah-buahan, hingga vitamin. Tak jarang Nia menerima kiriman makanan dari orang tidak menyebutkan namanya. (Cit)
Baca Juga:
Wagub DKI: 9 Juta Lebih Dosis Vaksin Telah Disuntikkan ke Warga
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
