Muhammad Saleh Werdisastro, Tokoh Muhammadiyah dan Bapak Pendidikan dari Sumenep
Siswa-siswi Partikelir Hollandsch-Inlandsche School (PHIS) Sumekar Pangabru 1934. (wikivisually.com)
BAGI warga Muhammadiyah, Muhammad Saleh Werdisastro bukan hanya sekadar nama. Pengorbanannya ketika hidup, dijawab dengan keabadian dan keharuman sosoknya hingga kini. Bahkan, jasadnya yang penuh dengan perjuangan itu dimakamkan persis berdampingan dengan pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Achmad Dahlan.
Muhammad Saleh Werdisastro lahir pada 15 Februari 1908 di Sumenep, Madura, Jawa Timur dari pasangan R Musaid Werdisastro dan R Ayu Aminatuszahra. Ayahnya merupakan seorang budayawan Madura yang berhasil menulis buku Babad Songenep (Sejarah Sumenep).
Tak banyak catatan sejarah yang menjelaskan bagaimana masa kecil Muhammad Saleh. Namun, ketika berusia 22 tahun, 15 Mei 1930, ia menyelesaikan pendidikannya di Hogere Kweek School (HKS) di Purworejo dan Malang.
Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi guru di sekolah dasar milik pemerintahan kolonial Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang, Jawa Tengah. Selama menjadi guru di sekolah bergengsi tersebut, justru tebersit dalam pikiran Muhammad Saleh untuk kembali ke Sumenep.
Setahun kemudian (1931), ia memutuskan pulang dan membesarkan tanah kelahirannya tersebut. Dengan segala permasalahan serta kekurangan yang terjadi pada saat itu, ia memberanikan diri mendirikan sekolah setaraf HIS untuk anak-anak dari kalangan bawah di Sumenep. Pada 31 Agustus 1931, sekolah Partikelir Hollandsch-Inlandsche School (PHIS) bernama Sumekar Pangabru pun diresmikan.
Pendidikan mulai dirasakan rakyat kecil. Tak hanya ilmu pengetahuan, rasa kebangsaan pun mulai tumbuh dalam setiap sanubari para murid. Bahkan, tak sedikit dari murid yang enggan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus.
Akibatnya, Muhammad Saleh mendapat teguran dari Residen Madura saat itu. Nyali tak menciut, justru keberanian mencuat. Muhammad Saleh mengambil keputusan hebat dengan menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.
Lebarkan Sayap Muhammadiyah di Yogyakarta
Pada 1 September 1941, setelah PHIS Sumekar Pangabru besar, Muhammad Saleh Werdisastro memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk membesarkan organisasi Muhammadiyah.
Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia menjadi guru di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah menengah pertama) yang disokong oleh Gesubsidieerde Inheemse (subsidi pemerintah pribumi atau Kesultanan Yogyakarta).
Sampai pada akhirnya tentara Jepang menduduki Indonesia, pada 31 Agustus 1943, Muhammad Saleh Werdisastro mengawali karier di dunia militer dengan jabatan Daidanco (komandan batalyon) Dai Dang II Yogyakarta, Bantul, Yogyakarta.
Namun, setelah Indonesia merdeka Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan tokoh masyarakat memilih Muhammad Saleh Werdisastro sebagai Komite Nasional Indonesia (KNI, sekarang DPRD) Yogyakarta.
Kemudian, pada 1 Februari 1950, Muhammad Saleh diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil Wali Kota Yogyakarta, dan juga aktif di Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta. Dengan jabatan yang strategis itu, ia pun kemudian menginisiasi pendirian sebuah universitas ternama di Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
Setahun kemudian, persisnya tanggal 1 Agustus 1951, Muhammad Saleh dipilih menjadi Wali Kota Raja Kasunanan Surakarta (Solo) sampai 17 Februari 1958. Seperti halnya di Yogyakarta, dengan kuasa yang dipegang, Muhammad Saleh juga memelopori berdirinya Universitas Raja Kasunanan Surakarta dan aktif sebagai pengurus IKIP Muhammadiyah Surakarta.
Kariernya di dunia pemerintahan semakin cemerlang. Pada 29 Februari 1959, Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi Residen Kedu berkedudukan di Magelang. Untuk ketiga kalinya, ia kembali mendirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Magelang.
Pada tahun 1964, ia memutuskan untuk mengakhiri masa baktinya sebagai pamong praja. Namun sayang, bersamaan dengan itu, ia sempat jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro menderita sakit kanker lever dan usianya diperkirakan tak lebih dari setahun.
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1966, di usianya yang ke-58 tokoh besar Muhammadiyah itu wafat. Keranda Muhammad Saleh ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah.
Meski telah tiada, perjuangan serta pengabdiannya justru tak akan pernah padam. Pemikiran serta perjuangannya yang berbekas, menyentuh semua masyarakat Yogyakarta, tak hanya warga Muhammadiyah. Semangatnya dalam membebaskan serta membangun pendidikan bagi rakyat akan terus dikenang. (*)
Bagikan
Berita Terkait
Romo Magnis Sebut Soeharto tak Layak Jadi Pahlawan: Dia Korupsi Besar-Besaran
Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Puan Maharani: Cermati Dulu Rekam Jejaknya
Presiden Prabowo tengah Pikir-Pikir Tetapkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Janji akan Beri Keputusan
KontraS Kritik Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto, tak Sesuai Semangat Reformasi
Pengamat Sebut Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Terhadap Soeharto Misi Sistematis Elite Dekat Prabowo
Bonnie Triyana Tegaskan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Mencederai Cita-Cita Reformasi
Amnesty International Indonesia Desak Pemerintah Cabut Nama Soeharto dari Daftar Calon Pahlawan Nasional
Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan, Politisi PDIP: Aktivis 1998 Bisa Dianggap Pengkhianat
40 Nama Calon Pahlawan Nasional Resmi Diajukan, Ada Marsinah, Ali Sadikin, Hingga Soeharto
Golkar Nilai Wacana Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Sebagai Hal Wajar, Era Orde Baru Resmi Dihormati Negara?