Mengulik Asal Usul Tradisi Perang Pasola di Sumba Barat


Pejuang Pasola. (Sumber: gardanasional.id)
TIDAK semua perang berakhir dengan pertumpahan darah. Di Sumba Barat justru ada satu peperangan. Masyarakat menganggap itu sebagai bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Juga wujud terima kasih dan permohonan kesuburan panen. Tradisi tersebut bernama Tradisi Perang Pasola.
Perang Pasola kini menjadi daya tarik wisata di tanah Sumba Barat.

Paulus Lete Boro dalam buku Sumba Tribe Horse Riding Contest menjelaskan, Perang Pasola merupakan sebuah ritual adat yang selalu dilakukan setiap tahunnya. "Februari atau Maret," tulisnya. Namun, untuk ketentuan tanggal ditetapkan oleh seorang Rato (tokoh adat).

Dalam tradisi itu, setiap suku beradu ketangkasan. Mereka berperang saling melempar tombak sambil menunggag kuda. Tidak mudah. Risiko pun tinggi. Mulai terjatuh dan terpelanting. Bahkan ada juga yang terkena lemparan tombak. Berdarah? Itu biasa. Begitulah tradisi Perang Pasola.
Folklor Pasola
Di balik kegiatan yang ekstrem itu, Pasola ternyata memiliki kisah menarik. Berdasarkan cerita masyarakat, tradisi tersebut tidak lepas dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang.
Rabu Kaba merupakan janda Umbu Dulla. Tak lama kemudian, perempuan cantik itu dinikahi salah satu pemimpin kampung, Umbu Amahu. Setelah resmi menikah, Rabu Kaba ditinggal sang suami mengembara.
Umbu Amahu tidak sendirian. Ia ditemani dua pemimpin lainnya, Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu. Nahas, ketiga pemimpin nan gagah itu tak kunjung kembali. Warga setempat pun menganggap mereka telah mati.
Pada waktu bersamaan, Rabu Kaba kembali jatuh cinta. Kali ini pilihannya adalah seorang pemuda dari Kampung Kodi bernama Teda Gaiparona. Sayangnya, cinta mereka terhalang adat. Cinta mereka juga tak direstui oleh kedua keluarga. Arkian mereka memutuskan untuk kawin lari.

Rabu Kaba pergi meninggalkan kampung bersama suami barunya. Tak lama berselang, keajaiban datang. Ketiga pemimpin Kampung Waiwuang ternyata kembali. Termasuk suami Rabu Kaba, Umbu Amahu.
Berita kembalinya Umbu Amahu sampai ke telinga Rabu Kaba. Namun, perempuan itu kadung jatuh hati dengan Teda Gaiparona. Ia pun memutuskan untuk tidak kembali ke dalam pelukan Umbu Amahu.
Mengetahui hal demikian, Umbu Amahu naik pitam. Ia geram. Juga kecewa. Tak menyangka istri tercinta pergi meninggalkannya. Akhirnya Umbu Amahu memerintahkan warga Waiwuang untuk mengadakan tradisi menangkap nyale (cacing laut) dan Pasola untuk melupakan kesedihan tersebut. (*)
Bagikan
Berita Terkait
Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Tradisi Murok Jerami Desa Namang Resmi Diakui Jadi Kekayaan Intelektual Khas Indonesia

Lebaran Sapi, Tradisi Unik Warga Lereng Merapi Boyolali Rayakan Hewan Ternak

Filosofi Tradisi Kutupatan Jejak Peninggalan Sunan Kalijaga

4 Tips Prank April Mop Sukses Mengundang Gelak Tawa

Tradisi Sungkeman sebelum Puasa Ramadan di Indonesia, Simak Beberapa Manfaatnya

Mencari Jelmaan Putri lewat Tradisi Bau Nyale, Budaya Khas Suku Sasak

Merawat Empati Lewat Tradisi Begawe Nyiwak khas NTB

Mengenal Tradisi Belis di NTT, Mahar yang Harus Disiapkan untuk Meminang Perempuan

Gotong Toapekong, Tradisi Cap Gomeh khas Banten
