Mengerjakan Skripsi di Masa Pandemi Enggak Melulu Negatif
Foto setelah dinyatakan lulus sidang skripsi. (Foto: dok. pribadi)
INI adalah curhatan mantan mahasiswa semester delapan jurusan jurnalistik di salah satu universitas di Gading Serpong. Mengerjakan skripsi di masa pandemi menjadi tantangan tersendiri dan tidak disangka-sangka akan terjadi kepada saya. Dan perlu diingat, ternyata sejarah ini tidak melulu negatif lho. Ada sisi positif yang bisa kita ambil, kalau kita jeli.
Kalau saya bilang, tantangan terberat mahasiswa semasa kuliah adalah di semester tujuh dan delapan, pasti banyak yang setuju bukan? Di masa-masa itulah kamu hanya datang sesekali ke kampus untuk konsultasi terkait proposal dan skripsi penentu kelulusan. Coffee shop atau kamar di rumah jadi tempat yang akan selalu kamu kunjungi demi ketenangan mengerjakan skripsi.
Ketika masuk di semester delapan pada awal Januari 2020, rasa deg-degan muncul hari demi hari karena waktu yang dinantikan akhirnya di depan mata. Tapi ada rasa antusias juga karena dunia perkuliahan akan segera berakhir. Kebetulan, saya mengambil skripsi berbasis karya yakni membuat podcast. Yang diuntungkan adalah mahasiswa bisa membentuk kelompok maksimal tiga orang untuk membuat karya podcast. Terdengar simple dan mudah, bukan? Pasti.
Baca juga:
Tapi kenyataan di lapangan jauh dengan ekspektasi kebanyakan orang. Sebelum melakukan rekaman podcast bersama narasumber, ada banyak rintangan yang harus dilalui, seperti membuat latar belakang, konsep, tujuan penelitian, referensi, teori, dan teman-temannya. Ringkasnya membuat Bab I sampai Bab III.
Rebahan dan bermain game setiap hari membuat waktu berjalan begitu cepat. Pasalnya, saya bingung ingin melanjutkan apa lagi kalau dosen pembimbing saja baru diumumkan pihak kampus di akhir Februari. Waktu sangat-sangat singkat karena awal Mei adalah target saya untuk bisa sidang skripsi di gelombang pertama.
Begitu sudah mengetahui siapa dosen pembimbingnya, kami satu grup bimbingan akhirnya melakukan pertemuan untuk pertama kalinya di awal Maret. Saat itu, COVID-19 sudah mulai masuk ke Indonesia namun belum ada sistem Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan semua masih terlihat baik-baik saja.
Pertemuan tatap muka berhenti di pertemuan kedua karena setelah itu, PSBB selama dua minggu sudah diterapkan. Saya hanya punya waktu kurang dari dua bulan untuk bisa sidang di awal Mei.
Baca juga:
Setahun Pandemi COVID-19 Jadi Momentum Ubah Gaya Hidup Manusia
Tidak bisa dimungkiri, mengerjakan skripsi di masa pandemi adalah tantangan semua mahasiswa untuk bisa lulus. Kendala-kendala yang saya alami hanya bisa ditanam dalam diri karena tidak tahu harus berbuat apa, seperti tatap muka secara langsung dengan dosen, mencari referensi buku di perpustakaan, dan tidak bisa merasakan rekaman secara langsung di ruang podcast kampus.
Perlu diketahui, kita ini tidak bisa mengendalikan keadaan. Buktinya, pandemi COVID-19 masih ada sampai artikel ini ditulis. Yang bisa saya kendalikan adalah diri saya sendiri, bagaimana skripsi itu bisa selesai tepat waktu dan tidak tercatat melakukan plagiarisme. Alhasil, saya membeli beberapa buku di e-commerce demi bukti kutipan di skripsi.
Di saat itu juga saya mulai terbiasa dengan sistem tatap muka secara daring lewat Zoom dan Google Meet. Memang awalnya sulit karena hanya mendengar audio saja dan belum lagi koneksi saya atau dosen yang kurang bagus jadi hambatan.
Percaya atau tidak, karena pandemi juga saya jadi punya banyak waktu untuk mengerjakan skripsi setiap hari karena masa PSBB. Ya, walaupun cuma satu paragraf tapi ada progress kan? Prinsip itu yang selalu saya tanamkan agar bisa selesai dalam waktu dua bulan. Yang penting duduk di depan laptop dan membuka file skripsi saja dulu. Nanti juga ada yang dikerjakan.
Bukannya apa-apa, ternyata ada sisi positif yang bisa diambil ketika mengerjakan skripsi di masa pandemi, terlebih untuk saya yang membuat karya. Estimasi biaya yang harus saya keluarkan pada awalnya hampir menyentuh angka Rp3 juta, termasuk fee narasumber, konsumsi, transportasi, dan nge-print skripsi untuk bimbingan. Tapi karena adanya pandemi, saya hanya mengeluarkan uang Rp500 ribu dengan membeli mic dan kuota internet di rumah.
Sejujurnya, saya belum pernah membuat podcast sama sekali. Jadi ketika membuat skripsi berbasis karya ini cukup tertantang sekaligus belajar mulai dari pra, produksi, dan pasca-produksinya.
Singkat cerita, saya akhirnya berhasil mengikuti sidang gelombang pertama dan lulus dengan nilai baik. Sampai bingung perasaan apa yang bisa saya deskripsikan, terlebih bisa lulus di masa pandemi ini. Berbagai ucapan selamat disampaikan orang terdekat secara langsung maupun di media sosial.
Yang bikin bangganya lagi, saya masuk dalam daftar 18 orang yang bisa ikut gelombang pertama dari sekitar 200-an mahasiswa jurusan jurnalistik. Selesai sidang skripsi, saya pun mencoba membantu teman-teman lainnya dengan karya yang sama.
Dari cerita di atas bisa disimpulkan ternyata kalau kita ada tekad dan kemauan, pasti di situ ada jalan. Pasti ada saja, tidak kita duga-duga. Lulus di tengah pandemi ini mengajarkan saya untuk menjadi pirbadi yang lebih disiplin, bekerja keras, konsisten, dan tentunya tetap mengandalkan Tuhan. (and)
Baca juga:
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
Saat Presiden Prabowo Ajak Wisudawan Nyanyikan Bersama Kasih Ibu, Ingatkan Sosok Paling Berharga
Penanganan Penyakit Tuberculosis Bakal Contoh Pola Pandemi COVID-19
Kasus ISPA di Jakarta Naik Gara-Gara Cuaca, Warga Diminta Langsung ke Faskes Jika Ada Gejala
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID
Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa
178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat
Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis
Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025
KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19
KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI