Mengenal Tradisi Selapanan, Selamatan Bayi di Usia 35 Hari


Tradisi Selapanan adalah mencukur rambut bayi. (Foto: Unsplash/Jill Sauve)
ADA berbagai tradisi yang dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi, salah satunya Selapanan bagi masyarakat Jawa. Selapanan adalah ritual yang dilakukan untuk bayi yang sudah menginjak usia 35 hari di dunia.
Selapanan berasal dari bahasa Jawa yang berarti 35 hari. Tradisi ini dilakukan sebagai pengingat bahwa sang anak sudah bertambah umur. Dalam proses bertambahnya umur, anak sudah mengalami beberapa perubahan, mulai dari fisik, batin, hingga mental. Anak yang mendekati hari kelahirannya akan mengalami perubahan fisik berupa peningkatan suhu badan, gelisah, dan sering menangis.
Acara yang dilakukan ketika bayi berusia 35 hari atau selapan ini dihitung sesuai dengan kalender Jawa. Masyarakat menghitung hari dalam hitungan Minggu sebanyak tujuh hari (Senin-Minggu) dan hitungan pasaran yang mana satu pasaran memiliki jumlah lima hari (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi). Perhitungan Selapan berasal dari perkalian antara tujuh dan lima yang menghasilkan angka 35. Pada hari itu juga hari weton si bayi akan berulang.
Baca juga:
Tradisi Gigi Runcing Bukti Kecantikan Perempuan Suku Mentawai

Sebagai contoh, jika sang bayi lahir pada Kamis Pahing, maka selapanannya akan jatuh tepat pada hari Kamis Pahing pula.
Sebelum tradisi Selapanan dilakukan, biasanya warga pada sore hari bergotong-royong membuat tumpeng yang berisi makanan. Nantinya, tumpeng ini dibagikan kepada para tetangga dan anak-anak kecil di lingkungan rumah. Tumpeng tersebut memiliki makna dengan harapan si bayi nantinya bisa berguna dan membahagiakan masyarakat sekitar.
Selain persiapan hidangan, ada juga perlengkapan lain seperti kembang setaman, gunting, kemenyan, dan lainnya untuk melakukan prosesi mencukur rambut bayi. Mencukur rambut dan memotong kuku bayi merupakan acara inti dan penutup dalam Selapanan.
Baca juga:

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada beberapa hal yang dipatuhi dalam pelaksanaan Selapanan. Salah satunya adalah rambut dan kuku bayi yang telah dipotong harus disimpan bersama dengan tali pusar serta kotoran kelelawar, yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Saat melakukan tradisi Selapanan, orang tua menggendong bayinya keluar dan diajak berputar mengelilingi para hadirin sebanyak tiga kali. Saat itu pula, para hadirin memegang kepala bayi dan mendoakannya agar diberikan keselamatan dalam kehidupannya.
Tradisi Selapanan juga menggambarkan bahwa manusia hendaknya memiliki hubungan erat yang harmonis dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Orang tua juga bisa memperkenalkan bayinya kepada tetangga dan para tetanggan menerima si bayi sebagai bagian dari mereka. (and)
Baca juga:
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
15 Tahun Batik Wistara Konsisten Berdayakan Disabilitas Lewat Batik Khas Surabaya

Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia

5 Museum Jakarta Buka Sampai Malam, Pengunjung Melonjak Hingga Ribuan
