LPSK Sesalkan Dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas 2020
Ilustrasi (Pixabay)
MerahPutih.com - Keputusan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020 disesalkan banyak pihak. Tak terkecuali Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU ini.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menjelaskan, bukan tanpa alasan LPSK mendukung pembahasan RUU PKS. Itu sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke LPSK.
Baca Juga:
Jokowi Minta Timnas Indonesia U-20 Tampil Maksimal di Piala Dunia U-20
Tahun 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, naik menjadi 111 permohonan pada 2017 dan melonjak ke angka 284 pada tahun 2018. Kemudian di tahun 2019, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual naik lagi ke angka 373.
Sedangkan jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual, per 15 Juni 2020, mencapai 501 korban. Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Diyakini angka riilnya bisa lebih besar. Itu disebabkan tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.
“Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia dalam keterangannya, Jumat (3/7).
Menurut Livia, ada beberapa faktor yang membuat RUU PKS penting untuk segera dibahas. Salah satunya kehadiran RUU PKS ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual.
“Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam,” ujar dia.
Pada kasus kekerasan seksual, lanjut Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal, khususnya yang ada di KUHP tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini. Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.
Baca Juga:
Alasan Menpora Belum Ajukan Rencana Anggaran Piala Dunia U-20
“Misalnya pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya” imbuh Livia. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Fenomena Gunung Es Kekerasan Anak di DKI Bikin Merinding, DPRD Tekankan Tiga Jurus yang Wajib Sekolah Jalankan
Pemprov DKI Luncurkan Kanal Aduan Lengkap untuk Cegah Kekerasan Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan Anak Meningkat, Komisi XIII DPR Minta Pendampingan Psikologis Diperkuat
1 Dari 3 Perempuan Di Dunia Hadapi Kekerasan Seksual, Ini Yang Paling Rentan
Transjakarta Beri Sanksi SP2 ke Karyawan Diduga Pelaku Kekerasan Seksual, Siap Bawa Kasus ke Ranah Hukum
Kasus Kekerasan Seksual di Transjakarta, Pramono: Jika Benar, Tindak Setegas-tegasnya!
MK Gelar Sidang Uji Materiil UU Pers, Ahli Nilai Pasal 8 Belum Jamin Perlindungan Wartawan
Mantan Kapolres Ngada Dipenjara 19 Tahun karena Cabuli Bocah, Bukti Jabatan dan Pangkat tak Bisa jadi Tameng dalam Pelanggar HAM
17 Aktivis Ditahan Polisi Minta Perlindungan, LPSK Ngaku Punya Wewenang Terbatas
Perlindungan Saksi dan Korban Dinilai Masih Lemah, DPR Dorong Keterlibatan Aparat Hukum