Kontras Persoalkan SKB Pelarangan FPI


Polisi dan TNI menutup markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, setelah pemerintah memutuskan membubarkan organisasi pimpinan Rizieq Shihab itu, Rabu (30/12). ANTARA FOTO/Akbar N Gumay.
MerahPutih.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempersoalkan Surat Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (SKB FPI).
Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/12), Kontras menilai SKB FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.
Baca Juga
Ratusan Anggota FPI Diduga Tersandung Pelanggaran Hukum, Salah Satunya Terorisme
Salah satunya didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.
"UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan _(due process of law)," tulis keterangan Kontras.
Setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam SKB tersebut. Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat.
Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.
"Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum," jelas Kontras.

Lalu, penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas.
Namun kenyataannya, baik Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.
Lalu, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum.
Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan.
"UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut," jelas Kontras.
Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang.
Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang.
"Yang secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas," ungkap Kontras.
Kontras menambahkan, penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan perlindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat.
Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi termasuk berupa pembubaran terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan.
"Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi,," jelas Kontras.
Lalu, penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Seperti membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. "Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga," tutup Kontras. (Knu)
Baca Juga
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
Kantor KontraS Didatangi 3 Orang Tengah Malam Pasca-Aksi Geruduk Rapat RUU TNI di Hotel

KontraS Tolak Pembahasan Revisi UU TNI dan Polri

KontraS Nilai Ketiga Capres Belum Tunjukkan Komitmen terhadap Penegakan HAM

KontraS Nilai Demokrasi Semakin Mundur di Periode Kedua Jokowi

Luhut Absen dalam Sidang Perdana Haris Azhar dan Fatia KontraS

Tindakan Represif Aparat Penegak Hukum Meningkat di 3 Tahun Jokowi-Ma'ruf
