Komunikasi Pemerintah Buruk, New Normal Diprediksi tak Maksimal


Salah satu objek wisata di Soloraya. Sektor pariwisata menjadi salah satu terdampak pandemi COVID-19. ANTARA/Aris Wasita
MerahPutih.com - Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing mengkritik manajemen komunikasi seiring penyiapan menuju new normal. Menurut Emrus, ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yakni penanganan kesehatan, penegakan hukum, dan tindakan komunikasi.
Emrus mencontohkan kasus penolakan rapid test hingga penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini, seperti di Surabaya dan Makassar.
Baca Juga
Tersangka Pengambilan Paksa Jenazah COVID-19 Bertambah Jadi 31 Orang
"Tindakan menolak rapid test, bahkan ada yang menjemput paksa pasien COVID-19. Ini karena kesadaran masyarakat terhadap virus belum tinggi. Bisa jadi termakan hoaks. Ini kan persoalan komunikasi," katanya, Rabu (10/6).
Direktur Eksekutif Emrus Corner itu mengakui bahwa selama ini manajemen komunikasi politik pemerintah belum baik, baik pemerintah ke masyarakat, pusat ke daerah, termasuk sesama menteri.
"Makanya, komunikasi pemerintah, mulai daerah hingga pusat harus profesional. Pendekatan-pendekatan komunitas cukup efektif, perlu di-'manage' baik," kata Emrus.

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio mengatakan daerah-daerah yang bersiap menuju new normal harus memiliki kondisi yang bagus dengan data-data terkini secara realtime.
Menurutnya, penerapan normal baru harus melihat kondisi setiap daerah yang berbeda, sebab bisa Jakarta lebih bagus kondisinya dibanding daerah-daerah yang lainnya.
"Intinya, kita harus tetap aman dulu, seraya berupaya tetap produktif. Jangan dibalik. Protokol kesehatan harus dipenuhi, hindari perjalanan yang tidak perlu, dan hindari kerumunan," katanya.
Pakar hukum Prof Gayus Lumbuun menyoroti dari perspektif hukum mengenai kesiapan menuju penerapan normal baru perlu mempertimbangkan banyak hal.
Protokol yang sekarang menjadi istilah populer, kata dia, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti panduan, aturan, hingga kesepakatan.
Baca Juga
"Bagaimana struktur hukum menjamin pelaksanaan aturan protokol? Harus aturan yang betul-betul terukur yang digunakan," kata mantan Hakim Agung tersebut.
Struktur hukum pelaksana, kata dia, bisa diterapkan dengan baik kalau masyarakat bisa mengikuti sehingga dampak-dampak aturan tersebut harus dipikirkan. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Ciri-Ciri dan Risiko Warga Yang Alami Long COVID

Kemenkes Temukan 1 Kasus Positif COVID dari 32 Spesimen Pemeriksa

178 Orang Positif COVID-19 di RI, Jemaah Haji Pulang Batuk Pilek Wajib Cek ke Faskes Terdekat

Semua Pasien COVID-19 di Jakarta Dinyatakan Sembuh, Tren Kasus Juga Terus Menurun Drastis

Jakarta Tetap Waspada: Mengungkap Rahasia Pengendalian COVID-19 di Ibu Kota Mei 2025

KPK Minta Tolong BRI Bantu Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19

KPK Periksa 4 Orang Terkait Korupsi Bansos Presiden Era COVID-19, Ada Staf BRI

COVID-19 Melonjak, Ini Yang Dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin

COVID-19 Mulai Melonjak Lagi: Dari 100 Orang Dites, Sebagian Terindikasi Positif

Terjadi Peningkatan Kasus COVID-19 di Negara Tetangga, Dinkes DKI Monitoring Rutin
