Ketua DPD Tegaskan Presidential Threshold Tak Sesuai Konstitusi
Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti (MP/Ponco Sulaksono)
MerahPutih.com - Polemik Presidential Threshold terus menghangat di kala pemilu 2024 semakin mendekat. Kini giliran Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mattalitti mengeluarkan pendapat. Menurutnya, Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi.
“Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” kata LaNyalla saat membuka Focus Group Discussion bertajuk 'Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa' di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (16/11).
LaNyalla menjelaskan, pendapat itu jelas terungkap saat dirinya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dari tiga narasumber pakar hukum tata negara dalam FGD, semua mengatakan tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
Baca Juga
“Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Disebutkan bahwa Ambang Batas Keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” ujarnya.
Sedangkan Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum'.
Artinya setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. "Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan,” imbuhnya.
Yang kemudian membingungkan, menurut dia, justru lahir UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari UU Nomor 42 Tahun 2008. Dalam UU tersebut. Dalam pasal 222 disebutkan, 'Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'.
Baca Juga
Punya Legitimasi Kuat, DPD Berhak Ajukan Capres-Cawapres Non Partai Politik
“Di sinilah semakin ketidakjelasannya. Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; 'pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'. Akhirnya komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama,” jelas LaNyalla.
Menurut dia pasal tersebut aneh dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. "Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu,” sambung Senator asal Jawa Timur itu.
Sayangnya meski jelas pasal dalam UU Pemilu itu tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy. Atau wewenang pembuat Undang-Undang. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.
“Oleh karena itulah kami di DPD RI berpendapat bahwa Wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengkoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa,” tuturnya.
Baca Juga:
Jokowi Dorong Lebih Banyak Wirausahawan dari Kalangan Santri
LaNyalla juga berharap FGD-FGD yang dilakukannya di berbagai kampus maupun institusi lainnya menambah literasi dan memperkaya pemahaman sebagai motivasi untuk melakukan perbaikan atas beberapa persoalan fundamental yang ada di negara ini.
“Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila mahasiswa Indonesia, termasuk para mahasiswa UMI Makassar menjadikan agenda Amandemen Konstitusi sebagai momentum yang sama,” tutup dia. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Ketua DPD Buka Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ke-23 di Jakarta
Bukan Hanya Al-Khoziny, DPD RI Soroti Potensi Bangunan Rapuh di Ribuan Pesantren Indonesia
OSO Pimpin 9 Partai Nonparlemen, Bentuk Sekber Gerakan Kedaulatan Suara Rakyat untuk Lawan Parliamentary Threshold
Prabowo Mau Sikat ‘Orang Kuat’ di Balik Tambang Ilegal, DPD RI Beri Dukungan
PPATK Diingatkan Jangan Asal Blokir Rekening, Harus Punya Pijakan dan Hukum Jelas
Partai Buruh Ajukan Uji Materi Minta Ambang Batas Parlemen Dihapus Pada Pemilu 2029
Sidang Paripurna DPD Laporkan Hasil Temuan di Daerah saat Masa Reses
Pertemuan Bilateral DPD RI dengan Senat Spanyol Javier Maroto Aranzabal di Jakarta
Pelantikan Sekjen DPD Mohammad Iqbal Dinilai Rentan Konflik Kepentingan
Formappi Tegaskan Pelantikan Sekjen DPD Bertentangan dengan UU