Kasus Asabri, Pakar Hukum Nilai Seharusnya Penyelenggara Negara Dituntut Lebih Berat


Lima orang terdakwa korupsi pengelolaan dana PT Asabri menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/12. ANTARA/Desca Lidya Natalia
MerahPutih.com - Perbedaan tuntutan dari jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi PT Asabri mendapat sorotan dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno.
Pasalnya, pihak swasta yakni Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba Heru Hidayat dituntut dengan pidana hukuman mati, sementara sejumlah mantan direksi PT Asabri yang menjadi terdakwa hanya dituntut dengan pidana hukuman penjara 10 sampai 15 tahun.
“Kalau secara umum, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Nur kepada wartawan, Selasa (21/12).
Baca Juga:
Sidang Pledoi, Lukman Purnomosidi Tolak Dituntut sebagai Koruptor Kasus Asabri
Nur menegaskan, hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS. Karena, kata dia, penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.
“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” tandas dia.
Dia juga menegaskan, ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.
“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” jelas Nur.
Nur enggan menyebutkan tuntutan jaksa tersebut tidak adil karena menurut dia makna kata "adil" tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak. Hanya saja, kata dia, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.
“Saya enggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” pungkas Nur.
Baca Juga:
Tuntut Hukum Mati Terdakwa Asabri, Guru Besar Unpad: Jaksa Terlampau Tendensius
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan dengan tegas menilai, tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus Asabri tidak adil. Pasalnya, terdakwa Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT Asabri dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.
“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil. Dalam kasus ini (kasus Asabri), pasal yang diterapkan pasal yang sama dan di-junto-kan dengan Pasal 55 KUHP kan. Nah, kalau dijunto dengan Pasal 55 dan terbukti berarti di sini tidak mungkin ada yang dipidana mati karena pasal yang didakwakan itu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor,” tutur Dian.
Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta umumnya, kata Dian, dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.
“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor junto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” jelas Dian.
Dian mengibaratkan kasus korupsi ini dengan permainan bulu tangkis ganda. Jika satu pemain salah, maka yang lain juga salah dan hukumannya juga berdampak untuk semua dan sama.
“Kalau kasus Asabri ini, justru yang utama dilihat itu pihak penyelenggara negara, baru pihak swasta Pasal 55 KUHP. Tetapi kemudian kenapa yang Pasal 55 (swasta) justru lebih tinggi ancaman hukumannya. Itu kan enggak logis, justru penyelenggara negaranya yang harus lebih tinggi karena ketentuan korupsi kan untuk penyelenggara negara sebenarnya. Aneh ini,” pungkas Dian.
Dalam kasus dugaan korupsi Asabri, Presiden Direktur PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut jaksa dengan pidana hukuman mati karena jaksa meyakini Heru bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.
Selain itu, Heru Hidayat dituntut hukuman uang pengganti Rp 12,434 triliun. Berbeda dengan Heru Hidayat, sejumlah pihak lain yang diyakini jaksa bersama-sama melakukan korupsi dalam kasus Asabri khususnya dari jajaran direksi PT Asabri mendapat ancaman hukuman yang lebih ringan.
Sejumlah pihak lain ini adalah Dirut PT Asabri periode 2012-Maret 2016 Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri dituntut jaksa dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 17,9 miliar. Lalu, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2012-Juni 2014 Bachtiar Effendi dituntut dengan hukuman penjara 12 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 453,7 juta.
Kemudian, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto dituntut dengan hukuman penjara 14 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 Letjen (Purn) Sonny Widjaya dituntut dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 64,5 miliar. (Pon)
Baca Juga:
Polemik Kasus Asabri, Andi Hamzah: Yang Dituntut Harus Sesuai Surat Dakwaan
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Presiden Nepal Yakinkan Semua Pihak, Tuntutan Pengunjuk Rasa Akan Dipenuhi

KPK Menggali Keterangan Khalid Basalamah Terkait Perolehan Kuota Haji Khusus

Kejagung Akui Kepala Desa yang Terlibat Kasus Korupsi Meroket Hingga 100 Persen

Eks Wamenaker Noel Tampil Berpeci Setelah 20 Hari Ditahan KPK, Alasannya Biar Keren

Tersangka Anggota DPR Satori Tidak Ditahan Setelah Diperiksa KPK 7 Jam Lebih

Skandal Kasus Korupsi Chromebook, Kejari Periksa 8 Sekolah dan 10 Pejabat

Jadi Tersangka Korupsi Bansos, Rudy Tanoe Ajukan Praperadilan Lawan KPK

KPK Telusuri Aliran Dana Kasus Korupsi Kuota Haji, Termasuk ke PBNU

Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra tak lagi Bisa Berkelit, Mahkamah Agung Thailand Perintahkan Jalani Satu Tahun Hukuman di Penjara

Nadiem Makarim Jadi Tersangka Kasus Korupsi Laptop, Kejari Periksa Sekolah di Solo
