Entomofagi, Praktek Menyantap Serangga di Berbagai Belahan Dunia

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Selasa, 09 Agustus 2022
Entomofagi, Praktek Menyantap Serangga di Berbagai Belahan Dunia

Kemunculan entomogafi didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan dan ancaman krisis pangan. (Unsplash/Jeremy Bezanger)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

FIGUR dalam lukisan kuno dari tahun 30.000 Sebelum Masehi (SM) itu masih tampak jelas. Seseorang yang tengah bersimpuh dan memakan lebah liar di sekitarnya. Lukisan di sebuah gua di Utara Spanyol ini disebut sebagai salah satu bukti tertua praktek entomofagi atau mengonsumsi serangga.

Bukti entomofagi lainnya teronggok pada feses manusia kuno yang terdapat dalam gua-gua di Amerika Serikat dan Meksiko. "Para ahli purbakala telah menemukan bahwa feses mereka mengandung semut, larva kumbang, lice, ticks, dan mites," catat F.G. Winarno dalam Serangga Layak Santap : Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan.

Bagi sebagian orang, memakan serangga mungkin terlihat menjijikkan. Tapi praktek ini kaprah tersua di berbagai benua dan telah lama dilakukan. Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada abad ke-4 SM, mencatat entomofagi dalam bukunya, Historia Animalium.

“Larva jangkrik di dalam tanah saat mencapai waktu tertentu berubah menjadi nimfa. Rasanya paling enak sebelum kulitnya pecah," tulis Aristoteles seperti dikutip Arnold van Huis dkk. dalam Edible Insects Future Prospect for Food and Feed Security.

Aristoteles juga menyebutkan bahwa diantara jangkrik dewasa, yang rasanya paling enak adalah jangkrik betina yang sedang mengandung telur. Penelitian mutakhir para ahli telah memasukkan jangkrik sebagai salah satu serangga layak santap (edible insects).

Baca juga:

Maknyus, Belalang Goreng Rasa Udang dari Gunungkidul

entomofagi
Di negeri Tiongkok, entomofagi juga tercatat dalam Compendium of Materia Medica karya Li Shizhen, tabib sohor yang hidup pada zaman Dinasti Ming. (Unsplash/Jeremy Bezanger)

"Jangkrik memiliki kadar zat besi, kalsium, dan magnesium yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Selain itu tembaga, seng, mangan, dan kalsium dalam jangkrik, belalang, dan kutu beras lebih banyak tersedia untuk penyerapan tubuh dibandingkan nutrisi yang sama dalam daging sapi," catat Pratiwi Girsang "Serangga Solusi Pangan Masa Depan" termuat di Jurnal Pembangunan Perkotaan, Volume 6 Nomor 2, Juli -Desember 2018.

Selain catatan Aristoteles, entomofagi juga tersua dalam catatan Diodorus dari Sisilia (sekarang Italia Selatan-red.) yang hidup pada abad ke-2 SM. "Dia menyebut orang-orang dari Ethiopia sebagai akridofagi atau pemakan belalang muda (locust) dan tua (grasshoppers)," tulis Arnold van Huis dkk.

Di negeri Tiongkok, entomofagi juga tercatat dalam Compendium of Materia Medica karya Li Shizhen, tabib sohor yang hidup pada zaman Dinasti Ming. Dia menunjukkan kegunaan serangga sebagai makanan dan pengobatan.

Di Maroko, pengembara dari Arab dan Libya pada abad ke-16 menyambut kehadiran belalang muda yang berwarna kuning dengan riang gembira. Mereka menangkap, merebus, lalu memakannya. Beberapa diantaranya mengeringkan belalang itu, lalu mengolahnya jadi tepung sebagai cadangan pangan.

Peradaban Eropa dari masa Renaisans sempat membuat entomofagi menghilang dari beberapa wilayah Afrika dan Amerika. Mereka menganggap memakan serangga sebagai praktek menjijikkan dan primitif.

Kaprah disepakati bahwa orang-orang Eropa menjelajah ke berbagai wilayah pada abad ke-17 sembari membawa slogan memberadabkan orang-orang di luar wilayahnya. Karena itulah, mereka berupaya mengenalkan praktek makan yang baru kepada penduduk lokal dan menghapus praktek memakan serangga. "Dengan tujuan memodernisasi atau membaratkan mereka," terang Arnold van Huis dkk.

Baca juga:

Kaviar Serangga dari Meksiko

entomofagi
Di Meksiko, misalnya, para seniman dan tokoh masyarakat terlibat mengkampanyekan kembali memakan serangga. (Unsplash/Jeremy Bezanger)

Meski sempat menghilang, entomogafi muncul kembali dalam beberapa dekade terakhir ini di benua Amerika, Eropa, dan Afrika. Di Meksiko, misalnya, para seniman dan tokoh masyarakat terlibat mengkampanyekan kembali memakan serangga. "Menggunakan dasar menu yang terdiri dari pangan tradisional Meksiko sebagai wahana kampanye soft blue corn tortillas atau chillies dan keju dengan serangga yang kaya akan protein," terang F.G. Winarno.

Sementara itu di Inggris, toko-toko modern telah menjual produk pangan berbahan serangga utuh seperti jangkrik, rayap, ulat mopane, ratu semut, dan kepompong ulat sutra. Produk lainnya berupa tepung, kue kering, dan pasta serangga.

Di Swiss, aturan tentang izin peredaran pangan berbahan serangga telah dikeluarkan sejak 1 Mei 2017. Dengan begitu, serangga menjadi pangan yang legal diedarkan selama memenuhi persyaratan konsumsi setempat.

Di Zimbabwe dan Botswana, kudapan berbahan serangga seperti keripik juga mulai marak lagi. Kripik itu dibuat dari ulat mopane. Isi perutnya dikeluarkan, lalu dikeringkan untuk dibuat keripik.

Kemunculan entomogafi didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan dan ancaman krisis pangan. Berbagai bukti kiwari telah menunjukkan manfaat mengonsumsi serangga. Dari 1,4 juta spesies serangga, sebagian besar layak santap dan tidak berbahaya bagi manusia.

"Berlawanan dengan anggapan bahwa serangga sebagian besar berbahaya, dari satu juta spesies serangga, hanya lima ribu spesies yang dapat dianggap berbahaya bagi tanaman, ternak, atau manusia," urai I Made Adi Prema Nanda dalam "Analisis Risiko Penularan Zoonosis dari Serangga Konsumsi", termuat di Balairung Volume 2 No 2 Tahun 2020.

Penelitian kiwari juga membuktikan bahwa serangga layak santap (edible insects) tak berpotensi membawa dan menularkan penyakit kepada manusia (zoonosis). Selain itu, serangga juga mudah dibiakkan dan berbiaya rendah. Karena itulah serangga dianggap sebagai solusi krisis pangan.

Nah, bagaimana? Kamu jadi tertarik menyantap serangga, kah? (dru)

Baca juga:

Artis Hollywood yang Hobi Makan Serangga

#Kuliner #Budaya
Bagikan
Ditulis Oleh

Hendaru Tri Hanggoro

Berkarier sebagai jurnalis sejak 2010 dan bertungkus-lumus dengan tema budaya populer, sejarah Indonesia, serta gaya hidup. Menekuni jurnalisme naratif, in-depth, dan feature. Menjadi narasumber di beberapa seminar kesejarahan dan pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan lembaga pemerintah dan swasta.

Berita Terkait

Kuliner
Merayakan Malam Tahun Baru ala Argentina, Menikmati Torta Galesa hingga Asado
Seluruh rangkaian ini menjadi cara Sudestada menutup 2025 dengan meriah.
Dwi Astarini - Kamis, 04 Desember 2025
Merayakan Malam Tahun Baru ala Argentina, Menikmati Torta Galesa hingga Asado
Fun
Babak Baru Restoran Latin: Pembagian Menu Lunch dan Dinner untuk Pengalaman Bersantap Lebih Fokus
CasaLena Jakarta memperkenalkan menu lunch dan dinner terbaru mulai 1 Desember 2025, menghadirkan pengalaman kuliner Latin American Grill yang lebih fokus dan premium.
Ananda Dimas Prasetya - Jumat, 28 November 2025
Babak Baru Restoran Latin: Pembagian Menu Lunch dan Dinner untuk Pengalaman Bersantap Lebih Fokus
ShowBiz
Chef Paik Jong-won Balik ke TV, Diam-Diam Hapus Video Pengumuman Hiatus
Video yang dihapus itu berisi permintaan maaf Chef Paik terkait dengan isu pelanggaran label asal produk, iklan menyesatkan, serta tuduhan penyalahgunaan siaran.
Dwi Astarini - Selasa, 25 November 2025
Chef Paik Jong-won Balik ke TV, Diam-Diam Hapus Video Pengumuman Hiatus
ShowBiz
Menenun Cerita Lintas Budaya: Kolaborasi Artistik Raja Rani dan Linying
The Breeze: Swim Swim Capsule Collection
Ananda Dimas Prasetya - Rabu, 12 November 2025
Menenun Cerita Lintas Budaya: Kolaborasi Artistik Raja Rani dan Linying
Indonesia
Hasil Lab Nyatakan Halal, Bakso Viral di Solo Buka Kembali dan Bagikan 450 Porsi Gratis
ni merupakan perdana bakso Solo buka setelah tutup sejak Senin (3/11).
Dwi Astarini - Jumat, 07 November 2025
Hasil Lab Nyatakan Halal, Bakso Viral di Solo Buka Kembali dan Bagikan 450 Porsi Gratis
Kuliner
Jalan Panjang Mimpi Besar Kuliner Indonesia, Saatnya Belajar Gastrodiplomacy dari Korsel & Thailand
Gastrodiplomacy merupakan strategi kebudayaan dan ekonomi yang memperkenalkan identitas bangsa melalui cita rasa.
Wisnu Cipto - Sabtu, 01 November 2025
Jalan Panjang Mimpi Besar Kuliner Indonesia, Saatnya Belajar Gastrodiplomacy dari Korsel & Thailand
Fun
IdeaFest 2025 Angkat Tema '(Cult)ivate the Culture', Ajak Kreator Indonesia Menghidupkan Budaya Lewat Inovasi
IdeaFest 2025 kembali digelar di JICC Senayan, Jakarta. Mengusung tema “(Cult)ivate the Culture”, festival kreatif ini hadir dengan 120 sesi dan 500 pembicara inspiratif.
Ananda Dimas Prasetya - Jumat, 31 Oktober 2025
IdeaFest 2025 Angkat Tema '(Cult)ivate the Culture', Ajak Kreator Indonesia Menghidupkan Budaya Lewat Inovasi
Kuliner
Jamuan ala ‘Bon Appetit, Your Majesty’ di KTT APEC, Menu Khas Korea dengan Sentuhan Modern dan Kemewahan
Hidangan fusion Korea yang disajikan dibuat dari bahan-bahan terbaik dari seluruh Korea
Dwi Astarini - Kamis, 30 Oktober 2025
Jamuan ala ‘Bon Appetit, Your Majesty’ di KTT APEC, Menu Khas Korea dengan Sentuhan Modern dan Kemewahan
Kuliner
Kuah Keju Sensasi Inovasi Baru Menikmati Bakso Tradisional
Bakso Boedjangan menghadirkan inovasi terbaru kuah keju.
Dwi Astarini - Kamis, 30 Oktober 2025
Kuah Keju Sensasi Inovasi Baru Menikmati Bakso Tradisional
Kuliner
Jakarta Coffe Week 2025 'A Decade of Passion' Siap Digelar 31 Oktober - 2 November, Etalase Kopi Tanah Air
Tahun ini, Jakarta Coffe Week memasuki usia satu dekade, menunjukkan aksi progresif.
Dwi Astarini - Selasa, 28 Oktober 2025
Jakarta Coffe Week 2025 'A Decade of Passion' Siap Digelar 31 Oktober - 2 November, Etalase Kopi Tanah Air
Bagikan