Ciri Stunting Bisa Dikenali Sejak Dini


Kampanye stunting untuk anak usia dini melalui food art di kampus setempat Rabu (24/1/2024). ANTARA/HO-Humas Ubaya.
MerahPutih.com - Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1) di mana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022. Pada 2024 ditargetkan mencapai 14 persen.
Pakar nutrisi bayi dan anak RS Cipto Mangunkusumo Nita Azka Nadhira S.Gz mengatakan, ciri utama stunting yaitu perlambatan kenaikan berat badan bayi atau weight faltering.
Baca Juga:
Hadiri Harlah ke-78, Ratusan Muslimat NU Berkomitmen Turunkan Angka Stunting di Indonesia
"Stunting ciri-ciri yang pertama terjadi pasti diawali oleh perambatan kenaikan berat badan atau weight faltering dari masa kandungan, jadi stunting bukan hanya saat anak bayi atau saat SD kita bisa lihat dia stunting, Tapi stunting itu proses yang bisa sudah terlihat ciri-cirinya bisa dalam kandungan," katanya di Jakarta, Rabu (24/1).
Stunting merupakan suatu masalah gizi kronis, yang kejadiannya tidak dalam waktu singkat namun dalam jangka waktu yang lama. Secara teknis, anak bisa dikatakan stunting jika tinggi badan di bawah -2 standar deviasi pada grafik pertumbuhan.
Proses kurangnya berat badan dapat terjadi ketika bayi masih dalam kandungan karena kurangnya asupan nutrisi yang disebabkan beragam faktor seperti ekonomi atau pendidikan pengetahuan yang rendah yang tidak memungkinkan ibu memenuhi asupan nutrisi yang diperlukan anak.
Pada saat anak lahir dengan berat badan yang kurang dan tidak terkejar, tinggi badan akan menyesuaikan bentuk tubuh anak namun tidak dalam keadaan optimal seperti jika tumbuh dengan standar yang seharusnya.
Ia mengatakan, apabila dalam kandungan saat kontrol kandungan bayi cenderung kecil dan tidak terkejar saat dia lahir akan cenderung kecil. Pada bayi ASI tidak cukup, masa MPASI tidak cukup akhirnya tinggi badan menyesuaikan.
"Saat berat badan melandai otomatis tingginya menyesuaikan sehingga tidak seoptimal saat berat badan tercapai dengan baik, ujung-ujungnya anak bisa stunting," ungkapnya.
Nita mengatakan, penyebab stunting dikategorikan menjadi dua macam yaitu asupan nutrisi yang kurang sehingga berat badan tidak bisa naik dan tumbuh kembang tidak seoptimal usianya, kedua ada kondisi yang menyebabkan kebutuhan asupan gizinya meningkat sehingga jika tidak terpenuhi anak masuk kategori stunting.
Peningkatan kebutuhan nutrisi biasanya terjadi pada anak yang mengalami penyakit jantung bawaan, alergi susu sapi, lahir dengan berat badan rendah atau infeksi seperti TBC yang menyebabkan asupannya tidak bisa adekuat dengan memberatnya penyakit yang dideritanya.
Kombinasi dua hal itu, menyebabkan anak stunting. Sehingga stunting tidak bisa hanya dikaitkan dengan tubuh pendek tapi banyak faktor seperti kemiskinan yang dapat berpengaruh pada anak nantinya ketika dewasa.
Lulusan ilmu nutrisi dari Universitas Brawijaya Malang ini mengatakan dampak anak yang mengalami stunting pasti memiliki imun tubuh yang lebih rendah dibandingkan anak yang sehat sehingga lebih mudah mengalami infeksi.
Periode tumbuh kembangnya juga terhambat karena tubuhnya fokus menangani penyakitnya sehingga kapasitas otak tidak maksimal.
"Terlihatnya pas dia SD atau dewasa. Ternyata potensi kognitif rendah dan kemampuan fisiknya itu jauh berbeda dengan anak-anak seumurannya, sedikit-sedikit sakit, pada saat dewasa kapasitas kerjanya cenderung lebih rendah sehingga kesulitan cari kerja dan jatuh ke kemiskinan lagi," katanya.
Ia menegaskan, kerugian lain jika anak mengalami stunting pada saat kecil juga berisiko mengalami penyakit yang lebih berat pada saat dewasa nanti karena kebutuhan proteinnya kurang.
"Hal ini bisa menyebabkan penurunan oksidasi lemak sehingga lebih rentan mengalami akumulasi lemak sentral dan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti diabetes, hipertensi, hingga gangguan reproduksi," katanya. (*)
Baca Juga:
Ganjar Sebut Telur dan Ikan untuk Ibu Hamil Bisa Tangkal Stunting
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Datangi Polda Metro, KPAI Kawal Ratusan Anak yang Ditangkap Saat Demo 25 Agustus

Aksi Anak-anak Ikuti Karnaval Meriahkan HUT ke-80 Kemerdekaan RI di Jakarta

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
