Bimbingan Belajar, Keinginan Orang Tua atau Anak?


Persaingan ketat untuk mendapatkan nilai sempurna juga mengusik para pelajar. (Unsplash-Daniel Chekalov)
KIRANA, mahasiswi swasta di Tangerang, enggak akan lupa momen terberat menjalani tiga bulan jelang seleksi masuk PTN. Saban hari hanya berkutat dengan puluhan buku hingga tumpukan soal dari sebuah bimbel atau bimbingan belajar.
Satu minggu pertama, mungkin masa terbaik lantaran bisa kenal teman baru dengan tujuan sama; kuliah di PTN tujuan. Mereka saling menyemangati agar lulus dan bisa kuliah bersama. Pembimbingnya sabar sehingga merasakan kenyamanan berbeda dengan belajar di sekolah.
Baca Juga:
Pekerjaan Rumah Kerap Menjadi 'Pekerjaan Sekolah' Saat Ngilmu di Negeri Aing
Namun, perasaannya mulai tidak karuan setelah satu bulan berada di rutinitas serupa setiap harinya. Kirana mulai merasakan kewalahan dan tidak dapat mengatur waktu. Jangankan mengurus dirinya sendiri, untuk menyelesaikan seluruh tugas dari sekolah ditambah dengan tugas dari bimbel saja dirinya tak sanggup.
Saat itu, sekolah tempat Kirana belajar juga menerapkan bimbingan di luar jam pelajaran baku khusus kelas tiga SMA untuk mengikuti beragam ujian kelulusan nantinya.
Kegiatan wajib tersebut membuat seluruh siswa kelas tiga seharusnya pulang pukul tiga sore, terpaksa baru dapat pulang pukul lima sore. Setiap harinya Kirana hanya memiliki sekitar dua jam untuk istirahat, sebelum is harus memulai segala pembelajaran di bimbel pada pukul tujuh malam hingga selesai.

Dalam satu harinya terdapat dua mata pelajaran dari target empat mata pelajaran dipelajari Kirana dalam kelas bimbel. Kelas bimbel tersebut hanya berisi sepuluh peserta, mempelajari lima mata pelajaran utama, meliputi Sejarah, Matematika, Bahasa Indonesia, dan PPKn.
Satu sesi pembelajaran berdurasi selama tiga jam dan jeda istirahat selama 30 menit. Saat seluruh materi telah disampaikan, peserta bimbel akan diberikan kuis terdiri dari 10 soal. Setiap nomornya memiliki poin tersendiri dan tidak terlalu besar.
Baca juga:
“Jadi saat ada satu soal dijawab salah, poin didapatkan juga semakin sedikit dan berpengaruh pada nilai,” ucap perempuan sebelumnya memiliki harapan untuk masuk ke salah satu PTN jurusan psikologi tersebut.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 11 malam, Kirana bergegas pulang. Perjalanan dari tempat bimbingan belajar ke tempat tinggalnya membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Waktu begitu dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengistirahatkan mata dan tubuhnya dalam keadaan lelah. Pasalnya saat sampai di rumah, dirinya akan dihadapi lagi dengan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas rumah untuk sekolah dan bimbel.

Pekerjaan rumah diberikan pihak bimbel biasanya terdiri dari 50 soal uraian. Setiap jawaban dipilih peserta bimbel harus dapat dipertanggungjawabkan dan disertai dengan alasan mengapa jawaban tersebut dipilih sebagai paling tepat.
“Hampir setiap malam itu ngerjain setiap soalnya pasti nangis. Bukan hanya capek fisik, tapi juga capek pikiran,” ucapnya.
Tak hanya beban pekerjaan rumah saja akhirnya mulai mematahkan semangat Kirana, ujian try out diberikan pihak bimbel setiap bulannya juga menjadi salah satu faktor mempengaruhi keputusannya untuk berhenti.
Tak hanya itu, persaingan ketat untuk mendapatkan nilai sempurna juga mengusiknya. Setelah tiga bulan lamanya, Kirana mulai menyerah dan melepas seluruh biaya telah dikeluarkannya untuk bimbel agar kesehatan mental dan fisiknya tidak memburuk.

Per enam bulan, orang tua Kirana harus mengeluarkan belasan hingga puluhan juta rupiah. Sebelum Kirana masuk bimbel, ia harus melewati tes untuk mengetahui tingkat kemampuannya. Hal ini berpengaruh terhadap tingkatan di dalam proses bimbel. Dalam bimbel tersebut terdapat tiga peringkat dan semakin rendah peringkat didapatkan, peserta bimbel harus mengeluarkan biaya lebih besar.
Anak ketika kehilangan waktu bermain, menurut Femi Olvia pada Mendampingi Anak Belajar, akan menjadikan mereka pasif dan kurang sosialisasi, dan paling parah depresi.
Biasanya pada tahap awal, lanjutnya, anak mengalami kesedihan, stres dalam jangka panjang, hingga depresi.
Orang tua, menurutnya, harus peka terhadap keluhan anak saat belajar, apalagi menaruh harapan terlalu rumit, tak terjangkau, dan bukan kemauan anak. (Cit)
Baca juga:
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
