Bedah Ancaman Koalisi Gemuk Jokowi Jilid 2, Kolesterol sampai Komplikasi
Jokowi dan Prabowo saat debat keempat capres di Jakarta (Foto: antaranews)
MerahPutih.com - Koalisi Indonesia Adil Makmur pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 telah membubarkan diri setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menetapkan rivalnya Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Koalisi ini sebelumnya didukung oleh Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat. Belakangan santer terdengar bahwa keempat partai tersebut bakal merapat ke kubu pendukung pemerintah.
BACA JUGA: Tawaran Koalisi Kubu Jokowi Strategi Kubur Masa Depan Gerindra di 2024
Koalisi pasca Pilpres memang memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Meski seorang capres bisa mendapat suara signifikan dalam pilpres, dukungan politik di parlemen nanti tak bisa diabaikan agar pemerintahan berjalan efektif. Logika matematika politik tak bisa dipungkiri memengaruhi pola koalisi pascapilpres.
Kabar Buruk Bagi Demokrasi
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai isu rekonsiliasi memaksa Jokowi untuk melakukan pendekatan kepada partai di luar koalisi pendukungnya. Menurut dia, bergabungnya partai-partai oposisi ke kubu pemerintah akan menimbulkan komplikasi demokratik.
"Kalau semua partai di luar (pemerintah) setelah pemilu kemudian masuk dalam gelanggang kekuasaan buat apa ada Pemilu? Pemilu itu kan gunanya untuk menguji narasi program yang ditawarkan masing-masing kubu," kata Burhan saat ditemui MerahPutih.com, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (7/7).
Partai-partai pemenang pilpres, kata Burhan, idealnya berada "di dalam" untuk mengelola pemerintahan, sementara "yang di luar" merepresentasikan pihak yang kalah sehingga harus menjadi blok oposisi di parlemen.
"Menjadi oposisi dalam konstruksi demokratis itu sama bijaknya secara demokratik," imbuh pria kelahiran Rembang ini.
Namun, kata Burhan, perilaku partai politik di Indonesia tidaklah selinier yang dibayangkan. Nafsu politisi untuk selalu berada di dalam gerbong kekuasaan akan membuat peta koalisi rentan berubah. Ia lantas mencontohkan Golkar, sejak Pilpres 2004 hingga 2014 capres yang diusung partai beringin selalu kalah, namun Golkar tetap masuk dalam koalisi pendukung pemerintah.
"Kalau kemudian Gerindra, Demokrat dan PAN masuk dalam gelanggang kekuasaan, oposisi jadi sepi peminat, itu jadi kabar buruk buat demokrasi. Karena fungsi oposisi sebagai penyampai alternatif yang kredibel itu tidak terjadi. Dan Akhirnya kekuasaan menjadi sangat hegemonik," jelas Burhan.
Tiga Paket Pilihan Koalisi Jokowi
Peraih gelar doktor dari Departement of Political and Social Change, Australian National University (ANU) ini menjelaskan, secara teoritis, Jokowi sebagai pemenang pilpres bisa memilih tiga paket besaran koalisi: koalisi mini (minority coalition), koalisi ramping (minimal winning coalition), dan koalisi maksi (oversized coalition).
Koalisi mini terlalu berisiko karena posturnya terlalu kecil untuk mendukung pemerintahan di parlemen. Hal itu tampak pada periode awal pemerintahan Jokowi jilid satu. Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis. Secara politik, Jokowi hanya bertumpu pada empat partai PDI-P, NasDem, PKB dan Hanura dengan jumpah total kursi 37 persen di DPR.
BACA JUGA: Koalisi Jokowi-Ma'ruf Tidak Perlu Ada Penambahan Partai
Jokowi, kata Burhan, saat itu menjadi "presiden minoritas" dalam tiga lapis sekaligus: figur baru yang langsung melejit ke pentas nasional, tidak memiliki kendali atas partainya sendiri dan hanya mengandalkan koalisi ramping di parlemen. Alhasil, pemerintahan menjadi tidak efektif karna partai koalisi di parlemen tak mampu mengamankan program-program pemerintah.
Sebaliknya, koalisi obesitas juga terbukti tidak efektif seperti pengalaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid kedua yang diusung 75 persen kekuatan politik di parlemen, tetapi ibarat seseorang yang "kegemukan" gerak komunikasi Setgab kala itu terlalu lamban dan sakit-sakitan.
"Kalau misalnya Demokrat masuk, PAN masuk, Gerindra masuk, disisakan PKS justru yang terjadi koalisi itu obesitas. Ibarat orang yang terlalu gemuk, tak lincah dalam bergerak dan akibatnya banyak lemak jahat yang membuat disipilin koalisi lemah. Dan ketika disipilin koalisi melemah yg terjadi adalah presiden gagal memanage koalisinya," papar Burhan.
"Terlalu banyak kolestrol politik yang mengakibatkan Pak SBY saat itu gagal melakukan proses disiplin koalisi yang solid. Dan akibatnya Golkar dan PKS dengan manuver isu centurynya turut menggrogoti legitimasi dan aproval rating Pak SBY. Bukan tidak mungkin Gerindra ditarik, Demokrat ditarik, PAN ditarik, fisiknya ada di koalisi tapi hatinya ada di oposisi," imbuh dia.
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Prabowo Bantah Takut dengan Jokowi, Minta Rakyat Hormati Mantan Presiden
Projo Bakal Hilangkan Logo Muka Jokowi, Budi Arie Berikan Sinyal Tinggalkan Jokowi
Budi Arie Kembali Jadi Ketum Projo, Bakal Ubah Logo Muka Jokowi
Budi Arie Pastikan Jokowi Sudah Sepakat Projo Ganti Logo
Jokowi Tidak Datang, Projo Ganti Logo Tegaskan Bukan Singkatan Pro-Jokowi, Apa Artinya?
Jokowi Sapa Kongres III Projo Hanya Lewat Video, Budi Arie Ajak Relawan Berdoa
Jokowi Batal Buka Kongres III Projo di Jakarta, Alasannya Disuruh Dokter Istirahat
Jokowi Sebut Whoosh Investasi Sosial, Demokrat: Siapa yang Talangi Kerugiannya?
Pelantikan PSI Solo, DPD PSI Solo Undang Jokowi Jadi Saksi
Dikasih Topi Logo Gajah, Jokowi Ngaku Ngomong Banyak Hal Dengan Sekjen PSI