Burhan menyebut salah satu alasan partai-partai oposisi tergiur masuk ke koalisi pemerintah karena dengan skema Undang-undang 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Jokowi bukan hanya menang Pilpres tapi juga menang di Pileg, dengan kompososi partai koalisinya mencapai dari 60%. Dengan demikian, pimpinan komisi di parlemen akan disapu bersih oleh partai pendukung Jokowi.

Ketentuan komposisi pimpinan DPR yang diatur UU MD3 menguatkan posisi kubu Jokowi. Pasal 427 UU tersebut menyatakan Ketua DPR periode depan akan dijabat anggota DPR yang berasal dari partai pemilik kursi terbanyak pertama di DPR. Sedangkan empat wakil ketua DPR dijabat empat anggota DPR yang berasal dari partai yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

BACA JUGA: Ingatkan Jokowi-Prabowo, Presiden PKS: Bagi-Bagi Kursi Menyakiti Rakyat

Partai pemilik kursi terbanyak pertama di DPR ialah PDIP (125 kursi). Sementara partai yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima, secara berurutan yakni, Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB. Tak hanya kalah dalam perolehan kursi di DPR, dari empat partai pengusung Prabowo-Sandia, hanya Gerindra saja yang kemungkinan besar mendapat posisi pimpinan DPR.

"Supaya partai oposisi komit berada di luar pemerintahan dan tidak tergoda masuk ke pemerintahan berikan mereka insentif, apa insentifnya? pimpinan komisi di parlemen jangan di sapu bersih sama kekuatan Pak Jokowi," tutur Burhan.

Menurut Burhan, yang ideal untuk dipertimbangkan Jokowi adalah koalisi ramping tapi sehat. Postur koalisi tidak terlalu besar tapi secara matematis mampu mengunci single majority di parlemen. Jika disiplin koalisi bisa dijalankan, minimal winning coalition bisa menyokong pemerintahan secara efektif.

Ramping tapi Lincah

Joko Widodo melambaikan tangan kepada para pendukungnya di GBK
Jokowi melambaikan tangannya kepada para pendukung dalam kampanye akbar di Gelora Bung Karno (foto: antaranews)

Kabinet ahli lebih leluasa terbentuk dan portfolio kementerian tak perlu ditransaksikan secara berlebihan kepada menteri menteri dari partai yang tidak punya kompetensi. Pertarungan gagasan lebih dimungkinan terjadi di parlemen karena proposal ide dan kebijakan akan saling dipertukarkan.

"Pendukung Pak Jokowi saat ini telah memperoleh kurang lebih 60% kursi di DPR artinya sudah mayoritas, berbeda dengan 2014, Pak Jokowi didukung hanya dengan kekuatan 37% kekuatan di parlemen artinya minority coalition. Kalau ingin solid itu jangan terlalu ramping juga, tapi jangan terlalu gigantic, misalnya dengan mengandalkan yang sekarang saja ada itu sudah cukup the winning coalition sekitar 60%," ujar Burhan.

BACA JUGA: Gerindra Bocorkan Waktu Pertemuan Prabowo dan Jokowi

Burhan mengingatkan, koalisi pemerintah yang terdiri dari 5 partai dan mencapai 60 % di parlemen potensial menjadi kekuatan hegemonik yang bisa melumpuhkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah. Untuk itu, ia menyarankan Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi.

"Koalisi yang terlalu besar malah membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikam setiap kebijakan yang mau diambil kepada aktor yang makin banyak. Jokowi cukup melakukan disipilin koalisi yang kuat agar koalisi pemerintah yang mendukungnya efektif dalam menjalankan agenda pemerintahan," paparnya.

Namun, kata Dosen Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini, jika koalisi maksi menjadi pilihan, harga sosial politiknya terlalu mahal. Pemerintah, lanjut Burhan, akan tersandera secara politis dan tercipta "kecemburuan" kepada aktor dan partai yang tak berkeringat dalam pilpres, tapi ikut menghisap "madu" pemerintahan.

"Saya nggak yakin partai koalisi Pak Jokowi rela memberikan jatah pemberian kepada partai oposisi yang masuk ke koalisi pendukung pemerintah," tutup Burhan. (Pon)

BACA JUGA: Kronologi Maju Mundur Rekonsiliasi Prabowo-Jokowi