Wilhelmina Park Pangkalpinang, Taman Wisata Asri yang Penuh Catatan Sejarah Keren
Senin, 18 Februari 2019 -
WILHELMINA Park bukan hanya ada di Batavia atau Jakarta sekarang. Sebuah taman bermain dan edukasi yang diambil dari naman ratu Belanda itu juga ada di Pangkalpinang. Awalnya tempat itu bernama Taman Sari.
Wilhelmina Park terletak di pusat Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasinya tepat di depan Alun-alaun Taman Merdeka yang sering disebut "titik nol" Kota Pangkal Pinang dan hanya berjarak 50 meter dari rumah dinas wali kota.
Sebagai kawasan bermain dan menghirup udara segar, satu hal unik dari Taman Wilhelmina yaitu karena memiliki sejumlah prasasti yang menceritakan sejumlah perjuangan dan perjalan sejarah bangsa.
Dikutip Antara, Seluruh rangkaian sejarah dalam monumen di Wilhelmina Park tersebut ditulis oleh ahli sejarah Babel Akhmad Elvian sebagai ajang pembelajaran sejarah bagi masyarakat lebih luas.
1. Prasasti di tengah Wilhelmina Park

Di bagian tengah Wilhelmina Park, ada sebuah prasasti berwarna putih yang menjulang mengenai surat kuasa kembalinya Republik Indonesia yang diserahkan Ir Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada Juni 1949.
2. Pemindahan ibu kota Bangka

Satu monumen menceritakan tentang nilai strategis Pangkal Pinang di Pulau Bangka. Diceritakan ibu kota Keresidenen Bangka dipindahkan dari Muntok di Bangka Barat ke Pangkal Pinang pada tahun 1913.
Proses pemindahan itu juga menjadi pemisahan administrasi pemerintahan kolonia (bestuur) dengan pengelolaan pertambangan melalui pendirian organisasi Banka Tin Winning Bedryf (BTW).
Perubahan ibu kota keresidenan tersebut kemudian ditandai dengan pergantian Residen Bangka dari RJ Boers kepad AJN Engelenberg.
3. Perjuangan Depati Amir

Ada juga monumen tentang perjuangan Depati Amir yang dinilai Belanda sebagai musuh berbahaya. Depati Amir lahir pada tahun 1805. Ia merupakan putera sulung Depati Bahrin yang pada tahun 1830 dipercaya jadi depati atau pejabat setingkat bupati di Bangka.
Meski menjadi anak seorang pejabat, Depati Amir tidak mau tinggal diam sehingga memimpin masyarakat Bangka untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan Depati Amir dan masyarakat Bangka menyebabkan Belanda mengumumkan perang dan status Bangka sebagai wilayah darurat militer (staat van beleg).
Depati Amir juga dinyatakan sebagai orang yang sangat berbahaya dan gerak-geriknya selalu dicurigai (Der Depatti Amir ist ein gefahrlicher mensch Von Verdactigem aeussern).
4. Pengasingan Depati Amir dan sang adik

Dalam monumen lain di Wilhelmina Park tersebut diceritakan Depati Amir dan adiknya yang bernama Depati Hamzah ditangkap Belanda pada 1851 dan diasingkan ke Kampung Airmata, Kupang, yang kini di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pada 28 Februari 1851, Depati Amir dan adiknya Depati Hamzah diberangkatkan ke Kupang dengan kapal uap Onrust. Kedua putera Bangka tersebut juga menyebarkan agama Islam di Pulau Timor selama dalam pengasingan. Kemudian, Depati Amir dan Depati Hamzah dipindahkan ke Bonipoi dan mereka membangun mesjid diberi nama Al-Ikhlas.
5. Perlawanan dari Depati Bahrin

Monumen selanjutnya, disebutkan juga bahwa ayah Depati Amir dan Depati Hamzah, yakni Depati Bahrin juga memimpin perlawanan besar masyarakat Bangka. Di bawah kepemimpinan Depati Bahrin, Kepala Residen Belanda MAP Smissaert dipenggal pada 1819.
6. Perjuangan Bung Hatta di pengasingan

Kemudian monumen yang menceritakan perjuangan Bung Hatta ketika diasingkan pada 22 Desember 1948. Wakil Presiden RI Bung Hatta diasingkan ke Pulau Bangka bersama RS Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), Mr Assaat (Ketua KNIP), dan Mr AG Pringgodigdo (Sekretaris Negara). Seluruh pendiri bangsa yang diasingkan ke Pulau Bangka itu sering dikenal dengan "Kelompok Bangka" (Trace Bangka).
Melalui diplomasi yang gigih dan dimediasi United Nations Comission for Indonesia (UNCI) dari Trace Bangka, lahirlah Perjanjian Roem Royen (Roem Royen Statement) pada 7 Mei 1949. Ketika itu, Mr AG Pringgodigdo mengatakan "Aku merasa ada dua sumber percaturan internasional di dunia ini yaitu United Nations dan Bangka".
7. Monumen "Pangkal Pinang, Pangkal Kemenangan"

Kemudian, ada monumen "Pangkal Pinang, Pangkal Kemenangan" dengan keluarnya persetujuan Belanda tentang kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta melalui Perjanjian Roem Royen.
Sebelum berangkat ke Yogyakarta, Bung Karno yang juga ikut diungsikan ke Pulau Bangka melakukan paminta dengan masyarakat di salah satu tempat yang berada di depan Masjid Almuhajirin, Kota Pangkal Pinang pada 6 Juli 1949.
Di hadapan masyarakat Bangka, Bung Karno menyampaikan pidato dan kalimat yang mengesankan yaitu "Dari Pangkal Pinang, pangkal kemenangan bagi perjuangan".
8. Konferensi Pangkal Pinang

Sedangkan monumen terakhir berisi tentang Konferensi Pangkal Pinang di Panti Wangka yang dulu sering disebut "Societet Concordia" atau "de Harmonie" pada tanggal 1-12 Oktober 1946. Konferensi Pangkal Pinang merupakan kelanjutan dari Konferensi Federal di Malino, Sulawesi Selatan yang digelar pada 15-25 Juli 1946.
Belanda memilih Pangkal Pinang sebagai lokasi konferensi tersebut karena ingin menjadikan daerah-daerah yang ada di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sebagai basis kekuatan mereka.
Konferensi yang diikuti 80 delegasi tersebut dimaksudkan untuk menyatukan pendapat dari berbagai golongan minoritas yaitu Eropa, Arab, China, dan India.
Namun, para pendukung kemerdekaan menolak dan menentang konferensi itu karena dinilai sebagai strategi Van Mook, Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Pemimpin NICA untuk membentuk negara federal Bangka Belitung dan Riau dalam Republik Indonesia Serikat sebagai Uni Indonesia-Belanda. (*)
Baca juga berita lainnya dalam artikel: Glamping De‘Loano, Destinasi yang Lagi Tren di Kalangan Muda-Mudi Purworejo