Tarif KRL Orang Miskin dan Kaya Ciptakan Ketidakadilan

Kamis, 05 Januari 2023 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mewacanakan mematok tarif Kereta Rel Listrik (KRL) untuk orang kaya. Nantinya, mereka orang kaya bakal membayar tarif KRL tanpa subsidi.

"Kalau (tarif) KRL enggak naik. InsyaAllah 2023 tidak naik. Tapi, nanti pakai kartu. Yang kemampuan finansialnya tinggi harus bayar lain," kata Menhub Budi di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (27/12).

Baca Juga

PPKM Dicabut, Penumpang KRL Tetap Wajib Pakai Masker

Namun, rencana pembedaan tarif KRL bagi 'Si Kaya' dan 'Si Miskin' menuai polemik. Sebab, hal ini bisa menciptakan ketidakadilan bagi para pengguna KRL.

Merespons wacana tersebut, pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan menilai penyesuaian tarif KRL saat ini belum diperlukan. Menurut Tigor, seharusnya pemerintah harus tetap memberikan subsidi.

"Sehingga masyarakat yang sebelumnya menggunakan kendaraan pribadi bisa beralih menggunakan kereta api, sehingga kemacetan bisa berkurang," jelas Tigor di Jakarta.

Menurut dia, pemerintah sebaiknya juga fokus pada upaya memperbaiki pelayanan transportasi publik, sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang menggunakannya. Apalagi, ada semangat mengajak masyarakat menggunakan transportasi publik seperti KRL commuterline, utamanya orang-orang yang selama ini menggunakan mobil.

"Jadi menurut saya yang harus difokuskan saat ini adalah meningkatkan pelayanan angkutan umum massal dan juga aksesnya dengan tarif yang terjangkau,” kata Tigor.

Dia mengatakan untuk mengajak masyarakat beralih menggunakan transportasi publik layanan atau kenyamanan yang didapatkan minimal sama seperti ketika menggunakan kendaraan pribadi.

Dengan perbedaan kartu untuk kelompok yang dianggap memiliki kemampuan finansial, dikhawatirkan kelompok masyarakat tersebut akan kembali menggunakan kendaraan pribadi lantaran menganggap pelayanannya merepotkan.

“Fokus pemerintah saat ini memperbaiki pelayanannya dan integrasinya yang menurut saya saat ini masih banyak yang harus dibenahi,” ujarnya.

Tigor mencontohkan sistem yang dijalankan di Malaysia. Di negara tersebut, seluruh warganya mendapatkan subsidi untuk menggunakan transportasi publik, termasuk juga wisatawan asing.

“Jadi tidak usah repot-repot mengatur perbedaan tarif, fokus saja di perbaikan layanan,” tegas Tigor.

Sementara itu, pengamat transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno, tidak mempermasalahkan soal adanya pembedaan tarif kereta rel listrik (KRL) Commuter Line berdasarkan kelompok tertentu.

Pasalnya, kata Djoko, layanan transportasi umum seperti Bus Trans Jateng dan Bus Trans Semarang sudah memberlakukan pembedaan tarif untuk kelompok umum, pelajar, mahasiswa, buruh, dan lansia.

"Hingga sekarang cukup lancar dan tidak bermasalah. Malahan, buruh merasa terbantu dengan tarif khusus itu. Dapat mengurangi pengeluaran ongkos transportasi untuk bekerja," tutur Djoko

Sejumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) Commuter line menuruni anak tangga setibanya di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (9/12/2022). ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/nz.
Sejumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) Commuter line menuruni anak tangga setibanya di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (9/12/2022). ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/nz.

Djoko menilai kebijakan itu seharusnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan porsi biaya transportasi masyarakat terhadap pendapatan mereka.

Djoko menyebutkan, ongkos naik KRL Jabodetabek saat ini memang murah. Namun, kata dia, biaya perjalanan layanan transportasi dari tempat tinggal ke stasiun (first mile) dan layanan transportasi dari stasiun ke tempat tujuan (last mile) masih lebih mahal.

Menurut Djoko, hal yang perlu diperhitungkan itu adalah ongkos total perjalan dari rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10 persen penghasilan bulanan.

Ia menuturkan, pelanggan KRL dapat mengusulkan kepada PT Kereta Commuter Indonesia untuk mendapatkan akses tiket bersubsidi jika gajinya di bawah Rp 5 juta. Sebab pemilihan pelanggan mampu dan tidak mampu dilakukan secara proaktif oleh pelanggan KRL.

Pelanggan KRL dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta tersebut dapat menggunakan surat pengantar baik dari perusahaan maupun surat keterangan RT/RW tempat pelanggan KRL tinggal. Data ini akan diverifikasi terlebih dahulu karena terhubung dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Membuat usulan dengan yang mengetahuinya kepala kantornya boleh atau RT/RW juga boleh," sambungnya.

Djoko menyadari cara ini rentan dimanipulasi. Tetapi, dia menegaskan pemerintah akan sering melakukan sidak dan memberikan sanksi berat kepada mereka yang berbohong.

"Bisa saja kartunya dipakai orang tapi kalau ketahuan ada sidak nanti dia kena dan dikasih sanksi denda yang tinggi sehingga orang ada efek jera," kata dia.

Baca Juga

Wapres Ma'ruf Tanggapi Polemik Tarif KRL untuk Orang Kaya dan Miskin

Sementara itu, untuk penumpang KRL insidental, akan dibuatkan tarif khusus. Namun hal ini masih dalam proses pembahasan.

"Itu pemikirannya, belum sampai operasional, nanti kan ada base data pakai DTKS. Apalagi sekarang kita punya e-KTP yang bagus juga," kata dia.

Nantinya, subsidi yang didapat bisa dialihkan ke jenis angkutan lainnya. Asumsinya, ketika tarif KRL berbeda sesuai golongan, seperti orang kaya dan non kaya, maka besaran subsidi untuk KRL pun akan semakin berkurang.

Berkurangnya subsidi itu, yang nantinya bisa dialihkan ke angkutan pengumpan maupun angkutan lainnya. Menurut data yang dikantonginya, subsidi untuk KRL Jabodetabek sekitar Rp 1,5 triliun, sementara subsidi untuk bus perintis hanya Rp 125 miliar bagi daerah 3T.

Besaran subsidi tadi membuat tarif KRL Jabodetabek jadi jauh lebih murah. Sayangnya, jika dihitung secara ongkos total, pengguna transportasi umum menanggung beban lebih besar saat menuju stasiun.

"Murah naik KRL, tapi bisa jadi lebih mahal biaya dari tempat tinggal ke stasiun (first mile) dan dari stasiun ke tempat tujuan (last mile)," ujar dia.

Sistem Dual Tarif Tidak Lazim

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta kepada Menhub agar membatalkan wacana kebijakan untuk menerapkan dual tarif di dalam tarif KRL.

Menurutnya, secara paradigmatis hal tersebut bermasalah, khususnya dari sisi politik managemen transportasi publik. Kata Tulus, subsidi untuk transportasi massal harus dilakukan, dan merupakan insentif untuk para pengguna kendaraan pribadi yang migrasi ke KRL.

"Sistem dual tarif tidak lazim dalam sistem transportasi massal manapun di dunia. Kemudian, sistem tersebut secara operasional sulit diimplementasikan dan sangat sulit menentukan mana konsumen mampu/kaya, dan mana konsumen tidak mampu," kata Tulus kepada MerahPutih.com di Jakarta, Rabu (4/1).

Tulus menegaskan, sistem dual tarif di lapangan akan menciptakan ketidakadilan baru dan bahkan berpotensi menimbulkan chaos dalam pelayanan. Selain itu, lanjut Tulus, sistem dual tariff jika diterapkan merupakan suatu kemunduran (setback) yang cukup serius.

Oleh karena itu, lanjutnya, hal yang paling rasional adalah mereview tarif eksisting KRL Jabodetabek.

Ilustrasi KRL Commuterline. ANTARA/HO-PT KAI
Ilustrasi KRL Commuterline. ANTARA/HO-PT KAI

Survei YLKI menunjukkan ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL sebesar Rp 2.000 untuk 25 km pertama. Atau, jika tidak naik tarif, pemerintah musti menggelontorkan dana PSO pada manajemen KCI, karena sesungguhnya tanggung jawab menyediakan transportasi publik adalah domainnya regulator.

"Hal yang juga sangat urgent adalah mendorong manajemen KCI sebagai operator Commuter Line, agar berupaya keras untuk meningkatkan pendapatan dari non tarif (non fare box revenue), seperti naming right pada stasiun, iklan komersial, sewa tenan, dll. Jadi tidak hanya mengandalkan pada tarif revenue saja," ujarnya.

Sementara itu, Corporate Secretary KAI Commuter, Anne Purba menyampaikan bahwa pihaknya erus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Regulator, khususnya Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Pehubungan terkait rencana penyesuaian tarif ini, baik waktu dan besaran serta skema penyesuaian tarifnya.

Menurut Anne, saat ini, KAI Commuter masih terus fokus dalam pelayanan meningkatkan pelayanan bagi penggunanya.

Perspektif KRL untuk Perbaikan Lingkungan

Anggota Komisi V DPR RI Anwar Hafid merespons rencana pemerintah yang akan membedakan tarif kereta KRL berdasarkan status ekonomi.

Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan agar fungsi KRL bisa dikembalikan dalam perspektif sebagai sebuah fasilitas publik yang memiliki tujuan untuk perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya.

"Karena itu prespektifnya mesti berfokus bahwa KRL dan commuter Line adalah fasilitas publik dengan tujuan perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya," kata Hafid.

Lanjut Hafid, presepektifnya ialah penyelamatan lingkungan pemerintah sedianya harus melalukan subsidi tarif KRL secara keseluruhan.

"Bisa dengan memanfaatkan CSR korporasi. Bukan sekedar sarana transportasi biasa," ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa subsidi tanpa kelas bisa menjadi solusi kemacetan dan mengurangi polusi.

"Subsidi berlaku bagi siapa saja yang menggunakan moda transportasi tersebut. Kalau ini dilakukan maka usaha kita mengalihkan masyarakat ke moda transportasi umum bisa berhasil," pungkasnya. (Pon/Asp/Knu)

Baca Juga

Skema Kenaikan Tarif KRL Bisa Merepotkan Calon Penumpang

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan