Sulastri Menguak Takdir, Dosakah Seorang Wanita Panggilan?

Rabu, 04 Januari 2017 - Noer Ardiansjah

Sulastri begitu populer di salah satu tempat hiburan malam ternama. Setiap hari, kerjaannya melulu menghibur lelaki hidung belang. Sekadar memuaskan nafsu yang menggelikan. Sulastri harus ikhlas menjalani lakonnya sebagai penyambung nafsu birahi para lelaki.

Sejak tiga tahun lalu ditinggal suaminya, mau tidak mau, Sulastri harus berjuang menghidupi anaknya yang masih sangat kecil, kecil sekali seperti jari kelingking. Jari kelingking dinosaurus.

Sulastri yang awalnya terjebak dalam lingkaran hitam, lambat waktu merasakan juga akan nikmat cinta singkat dari balik bilik. Bayaran yang tidak seberapa tentunya. Namun bagi Sulastri, ada barang gratisan menyertainya, bukan lain adalah kepuasan bersenggema itu sendiri. Kesepian dan haus akan belaian, membuat Sulastri mencari belaian dari manusia malam yang riang membelai. Dibayar pula!

Duhai Sulastri.

Tersiar kabar, dahulunya, Sulastri dicerai lantaran setiap bercinta ia tidak dapat memuaskan gairah sang suami. Sampai pada kesimpulan, sang jantan kemudian lari kepelukan tetangga sebelah, keranjang sekali kelakuan sang suami. Terpukul atas kejadian yang menimpa dirinya, tertanam bibit dendam Sulastri terhadap cinta itu sendiri. Wanita yang hanya mampu melunasi pendidikan sampai ke jenjang menengah pertama, membuat Sulastri sulit mendapat pekerjaan yang layak.

Dan didorong rasa sakit hati yang begitu memilukan, Sulastri memilih menjual rumah peninggalan orang tuanya yang sempat menjadi saksi atas pernikahan dengan Parjito. Tidak besar memang uang yang ia dapat. Namun balik lagi, lantaran pendidikannya hanya sampai Sekolah Menengah Pertama, Sulastri banyak dibuat bodoh oleh sang calo, Wagimin.

Singkat kata, Sulastri membeli rumah di sebuah desa Cetis. Sebuah desa yang sangat menjunjung tinggi nilai agama. Harusnya, suasana perkampungan yang sangat amat reliji itu bisa membawa dampak positif bagi Sulastri. Namun, Tuhan punya lain cerita.

Semakin lama, persediaan uang yang ia punya habis seiring kebutuhan dia dan anaknya. Jelas, rasa khawatir menyelimuti raut wajah sang ibu muda itu. Hingga pada suatu hari dia bertemu dengan Pocel, teman sekolahnya dulu, waktu masih di Sekolah Dasar.

Ditawari bekerja sebagai pelayan toko. Ya! Pelayan toko. Bukannya senang hati Sulastri tatkala mendengar tawaran pekerjaan itu. Justru keraguan atas semua kebaikan Pocel. Heran sudah pasti. Bimbang karena Sulastri sadar betul akan pendidikannya yang sangat singkat.

Namun, karena segala keindahan rupa Sulastri, Pocel terus meyakinkan pekerjaan yang ditawarkan ke Sulastri.

Tak ayal, Sulastri pun menerima semuanya, meski masih ada janggal ia rasa. "Baiklah, Mas! Aku terima tawaranmu. Meskipun aku sendiri heran, kenapa Mas Pocel mau mempekerjakan seorang wanita tamatan Sekolah Menengah Pertama di sebuah toko," ucap Sulastri.

Dengan tenang Pocel menjawab, "Kawanku yang punya toko, ndak selalu melihat orang dari ijazahnya. Ada hal yang lebih penting, yaitu niat dia untuk bekerja. Di sini, aku melihat hidupmu sendiri dengan memiliki seorang anak. Tentunya kamu membutuhkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan Urip, tho?"

Sambil tersenyum Sulastri menjawab, "Oh.. Benar, Mas. Yang paling utama adalah niat. Sekali lagi betul kamu, Mas. Biaya hidup semakin besar. Kalau aku ndak kerja, bagaimana nasib masa depan Urip."

"Lha iya, tho. Kamu pastinya ndak mau melihat Urip sengsara, 'kan? He he he. Yo wis. pekan depan, kamu langsung kerja. Nanti aku yang antar. Bagaimana?" tawar Pocel sambil mengembuskan asap rokok bekas tadi pagi.

Jawab Sulastri dengan semangat menggelora, "Siap, Mas! Hi hi hi."

Kebaikan Pocel tidak sampai di situ, selama tujuh hari penantian. Ia sering membawakan makanan untuk Sulastri dan anak semata wayangnya yang masih sangat kecil itu. Sampai-sampai, Sulastri pun terasa nyaman dan bahagia acapkali di dekat Pocel, bisa dikatakan seperti jatuh rasa. Di lain sisi, kedekatan Sulastri dengan Pocel pun sudah mulai ramai jadi bahan perbincangan warga sekitar, negatif saja sudah jadinya.

Adalah Mbah Sukiro, salah seorang warga yang dikenal sebagai sesepuh agama setempat menghampiri Sulastri dan menanyakan tentang, siapa lelaki atau manusia yang sebenarnya mempunyai nama Pocel itu. Takut warga, karena sering berkunjung akhirnya mereka melakukan perbuatan yang dilarang keras oleh agama, yaitu bersenggama dengan yang bukan pasangan sahnya.

Meski sebenarnya, agama pun melarang keras membicarakan aib orang lain. Apalagi dengan yang belum tentu akan kebenarannya. Karena dari ucapan warga kelak, bisa timbul fitnah. Dan sekalipun benar, warga sudah mendapatkan virus yang bernama ghibah.

Naudzubillah, lidah memang lebih tajam dari pedang, seperti yang orang tua dulu katakan.

"Sulastri, sebelumnya maaf.. Bukan maksud untuk menghakimi atau menggurui. Kamu, 'kan, menetap di sini baru. Dan kami, warga sekitar, juga tahu kalau kamu ini janda. Kalau boleh tahu, siapa lelaki yang suka berkunjung ke rumahmu hingga malam hari? Saya dan tentunya warga sudah mulai resah dan takut terjadi apa-apa. Maaf, ya, sebelumnya," ucap Mbah Sukiro yang tidak memikirkan perasaan Sulastri saat melemparkan pertanyaan tersebut.

Jawab Sulastri yang matanya mulai berkaca-kaca, "Ya ampun, Mbah. Maaf juga sebelumnya. Karena hal ini, baik Mbah maupun warga sudah banyak yang salah duga. Lelaki yang Mbah maksud adalah Mas Pocel. Dia tidak lain teman sekolahku dulu. Dari dia juga aku ditawari bekerja di salah satu tempat kawannya. Saya tahu betul, maksud dan tujuan Mas Pocel datang tidak lain sekadar menghibur dan menyemangati saya."

Dengan muka santai, Mbah Sukiro berkata, "Iya .. meskipun teman, tapi, 'kan, ada batasnya juga, Su. Memang kamu mau, nanti warga mengambil tindakan tegas? Ingat, Su! Di sini, kami sangat kental akan ruang spiritual terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Berzina dosanya besar!"

Sulastri sebenarnya juga menyadari kesalahannya, sehingga kemudian ia berkata, "Iya, Mbah, aku tahu. Memang di sini aku salah karena membiarkan seorang lelaki yang bukan suami, lenggang kangkung seenaknya. Maaf, Mbah. Lantas, saya harus berbuat apa?"

"Ya, kamu harus mengambil tindakan kepada kawanmu itu. Siapa tadi namanya...? Pecol, ya?" kata Mbah Sukiro.

Jawab Sulastri, "Namanya Pocel, Mbah. Bukan Pecol. Baik, Mbah. Maaf."

Merasa diri tertekan, pada keesokan hari Sulastri menegur Pocel yang seperti biasa berkunjung ke rumahnya dengan berkata, "Mas, maaf ya sebelumnya. Begini, kemarin aku ditegur oleh salah seorang pemuka agama di sini lantaran kunjungan Mas yang setiap hari. Sang sesepuh takut kalau nanti warga punya pikiran yang aneh-aneh. Meskipun sudah mulai banyak yang berpikiran aneh terhadap kehadiran Mas di rumahku."

Ada rasa takut pada diri Pocel. Takut diarak keliling desa dan juga takut dibakar. Karena Pocel tahu, hukum masyarakat sejatinya lebih rimba daripada hukum Tuhan, apalagi negara. Kejam lantaran mereka bisa langsung menghakimi tiada ampun tanpa ada bukti yang jelas. Berbeda dengan Tuhan, yang selalu menjadi Hakim yang adil untuk makhluk ciptaan-Nya.

Pocel berkata, "Aduh, yo wis. Aku akan batasi kunjunganku. Dan adapun tujuanku datang hari ini adalah ingin mengajakmu langsung ke tempat kerja. Kawanku sudah tidak sabar ingin melihatmu. Karena jauh beberapa hari yang lalu, aku sering membicarakanmu kepada sang kawan. He he he."

"Wah! Aku siap, Mas! Aduh.. Mas ngomong apa saja? Aku jadi malu. Hi hi hi. Ya sudah, aku rapi-rapi dulu, ya,sambil melihat anakku dulu, Urip," ucap Sulastri.

Berjalan menuju sebuah kamar yang hanya ditutup oleh selembar kain putih, yang sudah kurang layak. Di sana, ada sesosok anak kecil, yang kira dugaan masih berumur sekitar delapan bulanan. Benar-benar masih sangat dini sekali Urip, anak Sulastri. Namun, bersyukur karena Urip tidak rewel seperti anak lainnya.

Sulastri segera mengganti pakaian, melepas baju yang ia kenakan. Dan di saat itu, saking bahagia, ia sampai lupa bahwa ada seorang lelaki yang berada di dalam rumahnya. Duduk tepat di mana Sulastri menanggalkan bajunya.

Badan yang putih bersih, kulit yang halus, serta rambutnya yang panjang terurai membuat Pocel diam menganga seketika.

Ya! Nampak dari belakang Sulastri terlihat begitu jelas memakai bra berwarna merah muda. Perpaduan warna yang menggairahkan, sangat. Pikiran kotor Pocel, sudah berada di awang-awang kenikmatan.

Kembali kepada Sulastri, dia yang tidak sadar kalau tubuhnya yang indah itu sedang diperhatikan oleh manusia bejat seperti Pocel. Tiba-tiba sang anak yang masih kecil menangis. Sebagai seorang ibu, pasti tahu betul apa yang harus dilakukan. Apalagi kalau bukan menyusui.

Masih dengan ketidaksadaran Sulastri. Ia yang spontan, kemudian membuka lagi alat penyangga dada. Tak ayal semakin membakar birahi Pocel yang kian menggelora. Pocel melangkahkan kakinya mendekat ke tirai yang usang. Kain tirai yang menjadi penutup kamar sekadarnya. Dengan sangat hati-hati Pocel berjalan, dan benar saja sudah berada beberapa inch dari tirai, mungkin jarak dengan Sulastri hanya tinggal beberapa langkah saja.

Dengan keberadaannya yang dekat, tentu pemandangan yang tidak patut dilihat semakin jelas ditatap.

Tubuh Sulastri sudah tidak terjaga, ditambah dengan ia yang agak menikmati setiap hisapan si Urip kecil yang sedang disusuinya. Melihat hal demikian, pikiran dan niat kotor Pocel tak bisa terelakkan.

Pocel masuk perlahan, mendekat Sulastri yang lagi dan lagi, tidak menyadari sosok lelaki bejat pembawa duka, nantinya. Setelah berada satu langkah dari Sulastri, Pocel memegang pundak Sulastri.

Bagaimana perasaan Sulastri? Kaget tentunya. Namun, karena memang dari awal dia sudah mempunyai rasa terhadap Pocel, akhirnya hanya bisa berkata, "Eh, Mas. Mau apa.. Aduh! Keluar dari kamarku, Mas. Aku takut warga tahu."

Bukannya takut, Pocel malah semakin mendekat ke telinga Sulastri sambil berbisik, "Tenang, Su. Kalau kamu ndak berisik, pasti warga ndak tahu. Lagipula, sekarang ini masih jam tujuh pagi. Warga punya kesibukan masing-masing."

Sulastri terdiam, posisi Urip masih sama seperti yang awal, berada di dekapan payudara ibunya. Pocel pun tidak mau kalah bagian, ia mengambil kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan begitu saja. Disentuh tubuh Sulastri perlahan, mencium pundak, leher kemudian turun lagi ke pundak, dan sampai pada waktu di mana satu tangan Pocel meremas kantung susu Sulastri yang terbebas dari mulut Urip, anaknya.

Sulastri terbuai, terjadilah peristiwa yang sangat tidak dihalalkan.

Takut kehilangan kepercayaan, Pocel yang sudah merasa puas berkata, "Aku akan menjaga dan mencintaimu sepenuh hatiku. Yakinlah."

Karena sudah merasa ternodai oleh lelaki jalang ini, Sulastri menjawab, "Iya, Mas. Aku pun demikian. Aku akan lakukan apa pun untukmu. Asal, kamu jangan pernah tinggalkan aku. Berjanjilah!"

Untuk meyakinkan, Pocel menjawab, "Iya, Su. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dalam kondisi dan situasi apa pun. Tapi, kamu juga berjanji akan melakukan apa pun untukku."

Bisikan iblis penggoda akhirnya disempurnakan dengan tindakan mereka berdua.

Ya! Mereka lah aktor, aktris, dan sekaligus menjadi sutradara dalam adegan terhina itu. Setelah sama-sama selesai. Sulastri pergi mandi. Dan sekali lagi, karena keindahan tubuhnya, membuat nafsu Pocel kembali mencuat.

Salahnya memang pada Sulastri. Beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi yang berada di samping kamar tanpa menggunakan pakaian sehelai pun. Siapa orang di zaman sekarang yang tidak bergairah. Pocel pun beranjak dan menyusul Sulastri ke ruang sebelah. Kembali, mereka bercinta di dalam kamar mandi.

Setelah sama-sama puas, sesuai perkataan awal Pocel yang ingin mengajak Sulastri ke tempat kawannya yang mempunyai toko, entah toko apa namanya. Hanya Tuhan, Sulastri, Pocel, kawannya Pocel, dan beberapa tokoh fiktif inilah yang tahu.

Ternyata, toko yang Pocel maksud tidak seperti toko biasanya. Malahan, bisa dibilang bukan toko. Seperti tempat pijat dan bukan juga tempat pijat biasa.

Sulastri agak kaget dan memegang erat tangan Pocel seraya berkata, "Mas, katamu aku akan kerja menjadi pelayan toko? Kok, ini malah seperti tempat pijat, Mas? Aku, 'kan, ndak bisa pijit. Bagaimana ini, Mas? Kita pulang saja, yuk?"

Agar Sulastri tidak berubah panik. Pocel menjawab dengan santai dan tenangnya, "Ya, ini, 'kan juga toko, Su. Jangan khawatir. Aku juga sudah janji, ndak akan meninggalkanmu dalam kondisi dan situasi apa pun. Aku hanya ingin kamu kerja agar bisa menutupi segala kebutuhanmu, Su. Percayalah."

Karena telanjur memiliki rasa kepada Pocel. Sulastri pun mengangguk saja.

Usai meyakinkan, Pocel kemudian mempertemukan Sulastri dengan kawan yang sudah ia bicarakan sebelumnya. Berkenalan, sesudahnya mereka langsung asyik tukar cerita, seperti tidak ada kejahatan busuk di dalamnya. Larut dalam percakapan antara Sulastri, Pocel, dan Kirman, si bos pemilik tempat panti pijat. Pembahasan sudah mulai membicarakan upah. Kecil, tapi tidak terlalu kecil juga upah yang Sulastri dapat dari pijat.

"Kalau dari jasa pijat, per orangnya mungkin, kamu hanya mendapat tujuh puluh lima perak saja, Su," ucap Kirman sambil mengangkat kedua kaki di meja kerjanya. Seperti seorang bos, meskipun memang dia adalah seorang bos.

"Oh. Tujuh puluh lima perak ya, Mas Kir? Hmmmm. Ya, sudah. Lumayan untuk biaya hidup selama sebulan bersama Urip," jawab Sulastri dengan muka menunduk.

Sambil mengepulkan asap cerutu ke atas, Kirman berkata, "Ehem.. Tapi begini, Su... Hmmmm. Mungkin kamu bisa jelaskan, Cel," ucap Kirman.

Pocel diam sesaat sambil menatap mata Kirman, kemudian berkata, "Saya ajak Sulastri ke depan dulu yo, Mas. He he he."

Sambil tersenyum Kirman membalas, "Yo wis. Bicarakan dulu. Santai sajalah. Anggap, saya seperti saudara kalian sendiri."

Di saat yang sama, Sulastri memasang raut wajah kebingungan lantaran tidak mengerti apa yang sedang mereka rahasiakan. Sulastri pun berkata, "Ini mau ke mana lagi, Mas? Aku benar-benar ndak mengerti."

"Tenang saja. Ayo, kita ke depan dulu. Aku beritahu kamu sesuatu," ajak Pocel kepada Sulastri.

Sambil menyalakan sebatang rokok, Pocel menggandeng tangan Sulastri, bergegas meninggalkan Kirman yang sedang santai di bangku kebanggaannya sebagai pemilik panti pijat. Sulastri melangkah begitu indahnya. Badan, pinggul yang sungguh menggoda membuat Kirman mencuat gairah.

Ucapnya dalam hati, "Benar apa yang dikatakan Pocel. Sulastri itu sungguh menawan. Hmmmm, sebelum menjualmu, aku pasti akan menidurimu segera, Su. Ha ha ha."

Sesampainya di depan pintu ruangan Kirman, Pocel menatap Sulastri sambil berkata, "Jadi, begini, Su, " Pocel mendeham. "Mencari pekerjaan di zaman sekarang, susah. Kamu pun juga tahu akan hal itu. Dan sekarang, gajian di tempat ini, menurutku ndak terlalu besar. Tapi, bisa menjadi besar kalau kamu mau melakukan sesuatu yang lebih. Hi hi hi."

Masih dengan rasa heran, Sulastri berkata, "Lha, 'kan, aku sudah bilang sama Mas Pocel tentang susahnya mencari pekerjaan. Lalu, dari mas Pocel juga sekarang aku di sini. Mendapat gaji yang besar dan aku harus melakukan sesuatu yang lebih? Maksud jenengan, apa?"

Pocel pun meneteskan keringat. Pertanda bahwa ada rasa takut untuk menyampaikan niat busuknya kepada Sulastri.

"Lho, kok Mas diam. Mas," ujar Sulastri.

Untuk menghilangkan rasa grogi, Pocel menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian berkata, "Begini, Su. Kalau kamu mau mendapatkan banyak uang di sini, satu hal yang harus kamu lakukan. Yaitu, membuat puas para pelanggan dengan cara .... Hmmmmm... Bersetubuh dengan mereka. Bagaimana?"

Hancur hati Sulastri tatkala mendengar penjelasan Pocel. Benar-benar semakin terpukul, landur dalam sebuah ruangan yang ternyata menjerumuskan dia dalam lembah kenistaan. Air mata pun mengalir deras, sambil menampar wajah Pocel, Sulastri berkata, "Ya Gusti!! Kamu tega sekali, Mas, mau menjual diriku ke tempat seperti ini!! Baru saja tadi pagi bilang kalau kamu mencintaiku! Tapi mengapa kamu sekarang ingin menjualku??!!! Aku mau pulang saja!"

Sulastri memalingkan badannya dari wajah Pocel untuk keluar dari tempat itu. Namun tiba-tiba, tangan Sulastri dipegang begitu erat oleh Pocel sambil berkata dengan nada meninggi, "Hei Sulastri! Ingat, kamu ini janda dan tamatan Sekolah Menengah Pertama pula! Mana ada lelaki yang mau menjaga atau menikahimu! Ingat Sulastri, aku pernah merasakan tubuhmu, dua kali. Akan aku sebar kejadian tadi ke semua orang, agar kamu malu tak terkirakan!"

Mendengar gertakan Pocel, sontak Sulastri diam. Memikirkan masa depan dia dan juga anaknya.

Mungkin karena Sulastri hanya tamatan SMP, jadi percaya saja akan ucapan Pocel yang akan menyiarkan hubungan gelapnya ke semua orang. Padahal, Pocel sendiri tidak akan berani untuk menyampaikannya.

Lalu Sulastri membalikkan badan, menampar lagi Pocel beriringan air mata yang menetes seraya berkata, "Sungguh! Kamu jahat sekali, Mas!"

Kesepakatan antara Pocel dan Sulastri pun terjadi ketika itu. Sehingga akhirnya, Sulastri menerima pekerjaan yang sama sekali ia tolak.

Masuk lagi ke dalam ruangan yang posisi Kirman masih sama seperti awal. Kaki dibentangkan di atas meja sambil menghisap cerutu yang belum juga habis terbakar.

Pocel berkata kepada Kirman, "Maaf, Bos, jadi menunggu agak lama."

"Oh, ndak apa-apa.. Jadi, bagaimana keputusanmu, Su. Mau ndak? Oh ya, kenapa itu dengan matamu. Kok membengkak?" tanya Kirman yang sesungguhnya hanya sekadar basa-basi saja.

Karena masih terguncang. Sulastri hanya diam seribu bahasa. Tidak mampu lagi untuk banyak berkata. Akhirnya Pocel menjelaskan, "Iya, Bos. Jadi begini intinya. Sulastri mau menerima tawaran itu dengan upah, hmmmm... Seratus lima puluh. Bagaimana?"

Dengan wajah congkak, Kirman menjawab, "Oh. Tenang saja. Kalau memang layananmu memuaskan para pelanggan, saya tambahkan lagi menjadi dua ratus tujuh puluh lima perak. Bagaimana?"

Uang yang ia hasilkan memang semakin besar. Namun, luka hati yang Sulastri dapat jauh lebih besar sehingga ia tidak lagi menjawab pertanyaan Kirman. Dan lagi, Pocel lah yang ambil bagian dialog ini, seolah-olah seperti juru bicaranya Sulastri.

"Wah, bos Kirman baik sekali. Pasti, nanti Sulastri akan senang mendapatkan uang yang sebegitu banyak. Bisa untuk membeli apa pun yang ia dan anaknya butuhkan. Iya, 'kan, Su?" jelas Pocel sambil menginjak kaki Sulastri.

Karena benar-benar sudah merasa tidak berdaya dengan perlakuan Pocel, akhirnya Sulastri buka bicara dengan berkata, "Iya. Terima kasih untuk semuanya," jawab Sulastri dengan nada getir.

Dalam hati yang rasa sedih dan putus asa membaur menjadi satu. Muncul keinginan Sulastri untuk mengakhiri hidupnya. Namun, seketika membayangkan wajah Urip yang masih sangat kecil itu, akhirnya membenamkan niatan buruk Sulastri untuk bunuh diri.

Sebenarnya, suasana di dalam ruangan itu menjadi canggung seketika. Yang awal tertawa dan cerita bersama. Kini sepi seperti tiada penghuninya.

Adapun Kirman, menatap mata dan wajah Sulastri teramat dalam. Dan sudah jelas sambil membayangkan tubuh Sulastri yang begitu aduhai sehingga memompa gairahnya untuk tidur dengannya segera. Kirman mendekat ke arah Sulastri yang dari awal menunduk benar-benar tiada berdaya, sedangkan Pocel hanya senyum melihat Kirman. Karena Pocel tahu betul akan maksud dan tujuan Kirman mendekat.

Dimulai menghusap rambut perlahan, Sulastri terdiam, sungguh kasihan, sungguh. Memegang pundak Sulastri dan mengelus-elus seperti orang yang sedang kasmaran. Menempelkan bibirnya ke telinga Sulastri sambil berbisik, "Di sini, akulah rajanya. Kamu mau minta apa, tinggal bilang saja. Tidak ada satu pun manusia yang berani mencegah keinginanku."

Mental Sulastri yang sudah jatuh, terus dibuat hancur oleh ucapan Kirman. Badan melemas kehilangan tenaga. Tenaga untuk Sulastri berlari, apalagi untuk melawan dua manusia bejat tersebut. Gairah Kirman kian memuncak saat mencium wangi tengkuk leher Sulastri. Tanpa basa-basi, memegang lengannya dan menarik Sulastri dengan paksa. Mana lagi kalau bukan mengajak Sulastri masuk ke kamar maksiatnya.

Aduh, benar-benar tidak tega melihat keadaan Sulastri. Si penulis pun sebenarnya berharap ada kekuatan yang dimiliki Sulastri sehingga mampu melawan Kirman maupun Pocel. Dan bersorak sorai, "Ayo Sulastri! Hajar mereka!!!!" Tapi sayang, tidak ada.

Kemudian, sesampainya di kamar, badan Sulastri yang lemas itu dilempar ke tengah ranjang empuk dibalut selimut yang wangi sekali. Sulastri masih terdiam. Tidak melakukan apa-apa. Bisa jadi karena takut akan ucapan Kirman barusan.

"Ayo, cantik. Kita bersenang-senang. Kamu ndak usah memikirkan apa-apa. Tenang, tubuhmu akan aku hargai. Meskipun aku bosmu, tapi bukan berarti aku bisa memperlakukanmu dengan semena-mena. Ha ha ha," ucap Kirman sambil membuka pakaiannya sendiri hingga telanjang bulat seperti binatang di hutan. Menenggak obat semacam pil kuat untuk mendapatkan kepuasan.

Tidak membutuhkan waktu lama, Kirman sudah siap segera menghampiri Sulastri yang masih berada di posisi yang sama. Tidak bergerak sedikit pun selain air matanya yang terus membasahi kedua pipinya yang mulus.

Meremas kedua ... Ya sudahlah, ya, tidak usah dibahas. Pokoknya, Sulastri kembali dinodai oleh seorang lelaki.

Sadis memang, satu hari Sulastri sudah ditiduri oleh dua lelaki jahanam. Siapa pun orang yang tahu akan kemalangan Sulastri, pasti akan segera menolongnya. Menyelamatkan Sulastri dari jurang kehancuran. Karena sungguh adanya, Sulastri itu adalah janda yang sangat cantik, cantik seperti artis Kinanti Putri Ananta dari Negeri Sebelah. Entah sebelah mana. Pokoknya, sebelah.

Ya, kembali ke cerita Sulastri yang seperti sengaja dipotong.

Setelah puas menikmati tubuh Sulastri yang begitu putih nan bersih, sang juragan laknat memberikan upah kepada Sulastri sebesar seratus tujuh puluh lima perak. Agak lumayan besar memang. Namun, sekali lagi tetap, tidak bisa mengobati luka Sulastri pada hari itu, belum tentu dengan hari selanjutnya.

Benar saja, hari berganti hari cepat sekali. Menggilas waktu seperti terburu. Adapun Sulastri, janda yang sempat teraniaya ternyata sekarang sudah menikmati setiap belaian pelanggan yang datang. Sulastri mendadak menjadi pujaan. Tidak sedikit pelanggan memilih Sulastri sebagai teman berkencan. Bahkan, hari ini Sulastri ingin disewa satu hari penuh oleh seorang juragan dodol dari desa Kincot. Namun, ditolak mentah-mentah oleh sang kembang panti pijat.

Sulastri yang sudah seperti candu, minimal melayani tujuh sampai sembilan lelaki binatang. Parah sudah sekarang Sulastri. Penulis benar-benar tidak menyangka dengan Sulastri yang saat ini.

Tapi, apa mau diperbuat, semua ini sesungguhnya memang bukan kesalahan milik Sulastri sepenuhnya. Bisa jadi, memang jalan Tuhan yang tidak bisa ia hindari. Dan tidak menutup kemungkinan juga, kelak ia akan menjadi seperti artis Dinda Larasati, yang dulu adalah boomsex, tapi bertaubat dan menjadi seorang penyebar dakwah kenamaan. Bisa jadi, 'kan?

Kalau Tuhan mau berkehendak, siapa pun makhluk tidak akan ada yang mampu menahannya.

Sampai pada suatu ketika, beberapa tahun kemudian, Urip yang dulu masih delapan bulan kini sudah berumur tiga tahun jalan. Sulastri, iya Sulastri.. Berkat kerjanya yang seperti itu, sekarang sudah mempunyai hidup yang layak, meskipun tetap menjanda.

Menatap Urip yang sedang tertidur dengan kasih sayang yang teramat. Sulastri merenung, lalu meneteskan air mata. Sambil mengangkat tanganya Sulastri berkata, "Tuhan, aku adalah pelacur jalang. Lantas, bagaimana Tuhan? Tolong bimbing dan selamatkanlah aku."

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan