Soto, Kuliner Perekat Antar-Bangsa

Jumat, 15 September 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

SOTO, boleh jadi merupakan menu makanan mudah ditemui di setiap sudut negeri. Baik, jauh di keheningan desa maupun di dalam keriuhan kota. Dari kakilima hingga resto berbintang. Bahkan sudah hadir pada jamuan kenegaraan. Pendek kata, setiap orang di negeri ini paham gurih nan nikmatnya Soto.

Kerumitan muncul ketika Soto dinikmati orang asing. Lantas dia bertanya kritis, apa itu Soto? Apa beda Soto dengan Gulai, Tongseng, dan Empal Gentong asal Cirebon? Lalu, apa sama dengan Coto, Sroto, bahkan Tauto?

Seorang turis asal Italia, Anneloissa, coba meraba definisi Soto, dengan menyamakannya dengan sup. “Soto is Indonesian soup, with chicken or beef meat, vegetables, then mung bean sprouts, coconut milk, lemongrass spice,” ujar Anneloissa kepada merahputih.com, ketika sama-sama menikmati soto Betawi di bilangan Gondangdia, Jakarta Pusat.

Begitulah cara pandang orang asing menerjemahkan Soto, karena tak ada acuan baku.

Di beberapa daerah, Soto memiliki sebutan berbeda-beda. Masyarakat Bugis-Makassar menyebut Soto dengan Coto. Orang Pekalongan mengenalnya sebagai Tauto, kemudian cah Banyumas-Kebumen menyebutnya Sroto.

Denys Lombard, sejarawan Perancis, dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, mencatat orang-orang Tionghoa sangat berperan penting bagi kelahiran Soto. Menurutnya, Soto berawal dari bahasa Mandarin caudu atau jao to.

Masakan khas Tionghoa tersebut, lanjut Denys Lombard, kali pertama populer di Semarang pada abad ke-19. Soto pun menjadi produk hibrid, mengakar pada percampuran beragam tradisi budaya kuliner.

Pengaruh Tionghoa tercermin pada paduan mie, bihun atau soun, bawang putih goreng, tauco, penggunaan sendok bebek dan mangkuk sup Tiongkok. Sementara pengaruh India nampak dari penggunaan kunyit di beberapa Soto seperti kari di India.

Kini, dari dapur kaum Tionghoa, soto menjalar ke tangan masyarakat lokal. Penggunaan daging pun tak hanya ayam dan sapi, melainkan semakin beragam. Seperti Soto Bebek dari Tegal; Soto Seudati atau itik dari Pidie-Aceh; Soto Kelinci di Lembang; Soto Kalong dengan bahan daging kerbaui dari Indramayu; Soto Kepiting dari Banjarmasin; Soto Sotong di banten; Soto Bandeng di Bangkalan; Soto Belibis dari Sindereng-Rappang; Soto Bekicot di Kediri; Soto Rusa di Flores dan Coto Kuda dari Jeneponto-Sulawesi Selatan.

Dan tak jarang, dari penggunaan beragam bahan tersebut, beberapa soto menjadi terkenal. Di Betawi ada soto Tangkar dengan bahan iga sapi muda, lalu soto kikil, soto sumsum, soto ceker, soto babat.

Selain mengandalakan daging dan jeroan, Soto Mie justru menonjolkan unsur karbohidrat, seperti mie kuning. Lantas di Banyuwangi, kuliner bernama Rujak Soto nyaris seperti rujak cingur Surabaya namun disiram kuah soto.

Soto, dahulu bermula dari dapur kaum Tionghoa, kini menetap dan menjadi kuliner khas Indonesia.(*) Achmad Sentot

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan