Soal Natuna, PBNU: Tiongkok Tak Boleh Main-main dengan Kedaulatan NKRI

Senin, 06 Januari 2020 - Zulfikar Sy

MerahPutih.com - Nahdlatul Ulama (NU) mendesak pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982).

"Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994, karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (6/1).

Baca Juga:

TNI Beberkan Cara Kapal Ilegal Tiongkok Jarah Ikan di Laut Natuna

Pemerintah RRT secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok.

"Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Filipina sebelumnya telah memperkarakan Tiongkok atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial Tiongkok atas Laut Selatan China sebagai tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Beijing menolak keputusan tersebut.

"Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia," tegasnya.

Said Aqil Siroj (kedua kiri) saat konferensi pers "Refelksi Akhir Tahun 2019 dan Taushiyah Kebangsaan 2020 Nahdlatul Ulama" di Jakarta, Kamis (2/1/2020). (ANTARA/Anom Prihantoro)
Said Aqil Siroj (kedua kiri) saat konferensi pers "Refelksi Akhir Tahun 2019 dan Taushiyah Kebangsaan 2020 Nahdlatul Ulama" di Jakarta, Kamis (2/1/2020). (ANTARA/Anom Prihantoro)

Karena itu, kata Said, NU mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap Tiongkok, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI sebagai manifestasi dari Archipelagic State Principle yang dimandatkan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Meskipun Tiongkok merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, lanjut Said, NU meminta pemerintah tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Pasalnya, keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat, laut, dan juga udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun.

"Dalam jangka panjang, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik," imbuhnya.

Baca Juga:

DPR Desak Pemerintah Bawa Masalah Tiongkok di Natuna ke PBB

Said melanjutkan, medudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

"Ketidaksungguhan pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers," pungkasnya.

Dalam pandangan Nahdlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap orang Islam). Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid. (Pon)

Baca Juga:

Pengamat Militer Beberkan Solusi Atasi Persoalan Klaim Natuna

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan