Sisi Lain Pengajian Cak Nun Mocopat Syafaat

Kamis, 18 Februari 2016 - Noer Ardiansjah

MerahPutih Budaya - Tanah basah. Udara masih meninggalkan aroma hujan. Tapi orang-orang tetap melangkah penuh semangat. Mereka yang melangkah baru saja memarkirkan motornya di area parkir.

Ada tiga tempat parkir utama. Satu tempat berukuran kurang lebih 15 x 3 meter. Ada pula yang lebih kecil, sekitar 7 x 4 meter. Juga ada yang lebih kecil dari keduanya. Ditambah area parkir dadakan di sela-sela pagar dan di bawah pohon-pohon. Semua berisi motor, kecuali lahan khusus parkir mobil di luar area tadi yang ditempatkan sebelum pintu masuk kawasan.

Setiap motor dikenai biaya Rp2.000 per unit. Sementara lahan parkir yang sudah terisi motor hampir seribu unit motor. Belum semua lahan terisi. Waktu baru menunjukkan pukul 20.00 WIB, dan orang-orang masih tetap akan berdatangan, melangkahkan kakinya penuh semangat. Bila dihitung, seandainya semua terisi dan mencapai 1.000 unit motor, pendapatan dari biaya parkir mencapai Rp2.000.000.

Orang-orang yang datang telah berkumpul di depan panggung utama. Mereka duduk di bawah tenda berukuran kira-kira 15 x 7 meter. Mereka berkopiah merah putih. Sisi atas kopiah berwarna merah, sementara sisi lainnya berwarna putih. Sebagian besar dari mereka menggunakan sarung. Semua simbol itu menunjukkan mereka merupakan jamaah maiyah Mocopat Syafaat.

Mocopat Syafaat merupakan pengajian rutin yang diadakan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Setiap tanggal 17, rutin tiap bulan. Pengajian dimulai pukul 20.00 WIB hingga pukul 03.00 WIB dini hari. Jamaah yang hadir disebut jamaah maiyah. Pengajian ini selalu diiringi grup musik Kyai Kanjeng, sebuah grup musik etnik modern.

Di luar tenda, tanpa perlindungan atap bila hujan datang, ada saja orang-orang duduk. Beralaskan koran. Koran bekas itu dijual anak-anak seharga Rp500 dan ada yang seharga Rp1.000. Anak-anak penjual koran hilir mudik. Jumlah mereka sekitar 5 sampai 7 orang. Mereka mengais rezeki dari orang-orang yang datang dan memerlukan alas duduk.

Namun, jamaah di luar tenda ada juga yang sengaja membawa alas. Mereka seakan telah paham bahwa lapaknya akan penuh sehingga harus duduk di luar lapak normal. Mereka yang membawa alas dari rumah juga menunjukkan semangat mendengarkan pengajian itu telah muncul dari sejak di dalam rumah.

Suprapto misalnya, datang jauh-jauh dari rumahnya yang berada di kawasan pantai selatan, tepatnya di Kretek, Bantul, DI Yogyakarta. "Senang dengarnya (red, Cak Nun), gayanya santai pakai lucu-lucuan tapi masalah yang diobrolin kena (ke pokok masalah)," katanya kepada merahputih.com, saat Mocopat Sapaat, TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (17/2) malam.

Suprapto datang sendiri. Meski jarak antara rumahnya dengan lokasi pengajian Mocopat Syafaat mencapai 20 kilometer, ia tetap semangat. Bahkan, ia merupakan salah satu jamaah yang telah mempersiapkan alas duduk sejak sebelum berangkat dari rumah.

"Jauhnya gak terasa kalau malam begini, paling perjalanan 30 sampe 45 menit. Jauhnya mana kerasa kalau di sini sudah dengar Cak Nun," paparnya.

Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Jamaah semakin ramai. Lapak semakin padat. Diperkirakan, jumlahnya lebih dari 1.000 orang. Di bawah tenda, jumlah jamaah lebih dari 500 orang. Sementara orang-orang seperti Suprapto, yang duduk di luar, jumlahnya diperkirakan sama saja dengan mereka yang duduk di bawah tenda.

Meski padat, penjual kopi keliling hilir mudik di antara sesaknya jamaah. Ia menjajakan kopi dan teh manis. Menggunakan telapak khusus pengangkut kopi-kopi yang telah disuguhkan di dalam gelas plastik. Sekali keliling, ia mampu membawa 25 gelas kopi dan teh manis. Segelasnya seharga Rp3.000. Selain membawa kopi, di jari-jarinya terselip kacang rebus yang dijual seharga Rp2.000 per bungkus.

Hingga pukul 01.00 WIB dini hari, si penjual kopi keliling telah hilir mudik sekitar 6 kali. Bila dihitung, jumlah minuman yang terjual bisa mencapai 150 gelas. Omzetnya bisa mencapai Rp450.000 dalam semalam. Itu pun dari penjualan kopi dan teh saja, belum kacang rebusnya.

Pengajian bersama Cak Nun ini tidak hanya mendatangkan rezeki berlimpah bagi pengelola parkir, penjaja koran, dan pedagang kopi keliling. Di tempat pengajian yang berada di kawasan rumah kampung warga ini juga terdapat enam warung. Dua di antaranya warung dadakan, yang dibuka khusus saat pengajian Cak Nun tanggal 17 saja. Sementara yang lainnya memang warung tetap yang membuka lapak di rumah sendiri.

"Kalau acara maiyah begini bukanya sampai jam 2 (pagi). Kalau hari biasa ya cuma sampai jam 7 malam saja," kata salah seorang penjaga warung.

Meski waktu telah menunjukkan perubahan hari, dari Rabu ke Kamis dini hari, jamaah maiyah masih tetap semangat. Mereka sesekali tertawa lepas mendengar guyonan Cak Nun. Sesekali itu pula Cak Nun menyampaikan ayat-ayat Alquran maupun hadis.

"Mungkin malam ini bisa sampai setengah 4," papar Cak Nun di sela ceramahnya.

Bila sampai pukul 03.30 WIB, bukan tidak mungkin menambah semangat penjaja kopi keliling tadi. (fre)


BACA JUGA:

  1. Terkait LGBT, Cak Nun: Jangan Cuma Sesama Jenis, Sama Debok Sekalian
  2. Cak Nun: ISIS Itu Program Adu Domba Timur Tengah
  3. BPCB Yogyakarta Temukan Pagar Kuno Candi Prambanan
  4. Kampanyekan Cagar Budaya, BPCB Yogyakarta Manfaatkan Mobil Bioskop Keliling
  5. Goa Jomblang, Cahaya Surga di Yogyakarta

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan