Sentimen Negarif Yang Bikin Nilai Tukar Rupiah Melemah Setelah Terjadi Trading Halt
Rabu, 19 Maret 2025 -
MerahPutih.com - Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Rabu (19/3) pagi di Jakarta melemah sebesar 87 poin atau 0,53 persen menjadi Rp 16.515 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.428 per dolar AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena sentimen negatif domestik.
"Investor menantikan hasil dan pernyataan dari Rapat Dewan Gubernur BI (Bank Indonesia), yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga, namun investor lebih mengantisipasi pernyataan BI seputar sentimen risk off yang menyebabkan sell off di pasar ekuitas domestik yang menyeret rupiah,” ujarnya.
Pada Selasa (18/3), BEI melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan bursa pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Pembekuan perdagangan dipicu oleh penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai lebih dari 5 persen.
Baca juga:
Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan tersebut ialah kekhawatiran investor terhadap pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran, penurunan peringkat saham, hingga isu pengunduran Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Rupiah menghadapi tekanan dari dua arah besar, yaitu faktor eksternal dan internal. Dari sisi luar, kebijakan moneter Amerika Serikat menjadi pemicu utama. The Fed, bank sentral AS, menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi di negaranya, sehingga dolar menjadi lebih menarik bagi investor dunia.
Akibatnya, modal mengalir keluar dari Indonesia, melemahkan nilai tukar rupiah. Data dari Indonesia Investments mencatat bahwa kenaikan suku bunga The Fed secara konsisten memengaruhi mata uang negara berkembang, seperti Indonesia.
Ketidakpastian global juga memperburuk situasi ini. Perang dagang antara AS dan Kanada serta konflik geopolitik, seperti ketegangan Iran-Israel, mendorong investor mencari perlindungan di dolar sebagai aset aman, sebagaimana dilaporkan oleh Nikkei Asia. Rupiah pun menjadi korban dari gejolak dunia tersebut.
Dari dalam negeri, tantangan yang dihadapi juga tidak ringan. Indonesia masih sangat bergantung pada impor, khususnya minyak, gas, dan bahan baku industri. Meskipun neraca perdagangan mencatat surplus sebesar 3,12 miliar dolar AS pada Februari 2025,menurut Trading Economics, kebutuhan dolar untuk membayar impor tetap tinggi, sehingga menekan nilai rupiah.
Selain itu, pengelolaan fiskal yang kurang meyakinkan, seperti keterlambatan penyusunan APBN dan utang publik yang terus meningkat, mengurangi kepercayaan investor. Jurnal PMC menyebutkan bahwa ketidakpastian ini meningkatkan “‘premi risiko", yaitu biaya tambahan yang diminta investor akibat ketidakstabilan ekonomi. (*)