Punya Banyak Buku Tapi Tak Pernah Dibaca? Mungkin Kamu Mengalami Tsundoku
Selasa, 17 Agustus 2021 -
PERNAH enggak pergi ke toko buku dan lapar mata? Semua sampul terlihat sangat menawan dan menggiurkan. Tanpa pikir panjang kamu membawanya ke kasir dan membayar. Namun, bukannya langsung dibaca kamu malah hanya menyimpannya dan membiarkannya tergeletak begitu saja.
Tak berapa lama, kamu kembali melangkahkan kaki ke dalam toko. Melihat lagi buku baru yang sepertinya seru, membelinya, dan tidak membacanya lagi. Lucunya, siklus ini terjadi terus menerus. Kalau kamu salah satu pelakunya, artinya kamu mengalami fenonema Tsundoku.
Baca juga:

Tsundoku, melansir laman Open Culture, merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan membeli banyak buku yang pada akhirnya tidak dibaca. Kata tersebut berasal dari awal Jepang modern, tepatnya era Meiji dari tahun 1868 hingga 1912.
Awalnya diambil dari permainan kata-kata. Secara harafiah, Tsundoku berarti tumpukan bacaan. Sedangkan dalam penulisan bahasa Jepangnya ditulis sebagai Tsunde oku yang berarti membiarkan sesuatu menumpuk.
Seiring waktu, mereka menukar kata oku di tsude oku menjadi doku. Akan tetapi karena tsundo doku sulit untuk diucapkan, akhirnya digabungkan menjadi Tsundoku.
Biasanya semua bermula dari kegiatan menundu-nunda. Berjanji akan membacanya, namun tak ada kesempatan. Ditambah dengan keinginan kuat untuk selalu membeli buku baru akhirnya membuat semuanya jadi menumpuk. Sampai-sampai kewalahan sendiri menghadapi banyaknya buku yang belum dihabiskan.
Baca juga:
Pertanyaannya, apakah Tsundoku merupakan sebuah kesalahan? Kalau melihat tujuan awalnya, sebenarnya jawabanya tidak karena pelakunya memang mempunyai keinginan untuk membaca.
Selain itu, Tsundoku juga memberi motivasi yang mendorong seseorang untuk kembali merobek plastik pembungkus dan mulai membalik halaman-halaman baru.
Apalagi buku adalah jendela dunia, jadi membeli buku seharusnya bukanlah sebuah kejahatan. Keuntungan berikutnya, Tsundoku ini memungkinkan seseorang untuk membaca kapanpun dimanapun karena tempat mereka sudah seperti perpustakaan.

Sayangnya, ada pula dampak buruk dari kebiasaan ini. Mereka jadi memiliki perasaan depresi untuk menmpuknya. Motivasi dan rasa ingin tahu di awal akhirnya dibajak oleh perasaan tertekan. Mau tidak mau harus dibaca agar tidak rugi karena sudah mengeluarkan banyak uang.
Lebih lanjut, semakin lama kebiasaan ini dipelihara, maka seseorang akan jadi lelah sendiri karena secara tak langsung harus bertanggung jawab dengan semua buku yang belum disentuh. Belum lagi tempatmu akan terlihat sangat berantakan penuh dengan buku-buku yang bertebaran.
Lantas, bagaimana cara terbaik untuk menghentikan kebiasaan ini? Laman Medium membagikan setidaknya lima cara mudah untuk membantumu yang sering Tsundoku. Pertama dengan membatasi jumlah pembelian buku.
Misalnya hanya boleh tiga buku selama satu bulan. Kemudian tips berikutnya masih berkaitan yaitu cari buku yang memang benar-benar membuatmu tertarik. Kenali dulu kesukaanmu dan jangan membeli buku secara asal.
Ketiga, jangan biarkan buku menumpuk dalam waktu yang terlalu lama. Melihat buku-buku dalam tumpukan akan membuatmu semakin terdorong untuk melakukannya lagi dan lagi.
Selanjutnya, jual atau donasi buku-buku Tsundoku. Lebih baik memberikannya pada orang yang benar-benar membaca daripada dibiarkan begitu saja menjadi sarang debu.
Terakhir, berhenti membaca kapanpun. Jangan jadikan kegiatan membaca sebuah kewajiban. Jalankan dengan santai agar tidak tertekan dan depresi. Dengan demikian kegiatan ini akan jadi sebuah hal yang menyenangkan sehingga kamu bisa lanjut membaca buku di tumpukan berikutnya. (sam)
Baca juga:
Perut Mulas di Toko Buku? Mungkin Kamu Mengalami Fenomena Mariko Aoki