Perjanjian Perdagangan Bebas Dinilai Merugikan Rakyat Indonesia
Jumat, 20 November 2015 -
MerahPutih Keuangan - Pasca kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat, terjadi perbincangan di berbagai kalangan terkait bergabung atau tidaknya Indonesia dalam Trans Pacific Partnership Agreement (TPP).
TPP sendiri berawal dari perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) tingkat regional antara Selandia Baru, Cile, Singapura, dan Brunei, yang menyepakati perjanjian perdagangan bebas dalam kelompok yang diberi nama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) pada tahun 2005. Hal tersebut diungkapkan Anwar Ma’ruf, Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), melalui rilis yang dikirim kepada merahputih.com, Jumat (19/11).
"Presiden Barack Obama, pada tahun 2010, merombak TPSEP dengan menggabungkannya bersama Australia, Peru, Vietnam, Malaysia dan Amerika Serikat, sehingga menjadi Trans-Pacific Partnership (TPP, Kemitraan Trans-Pasifik). Di tahun 2011, Kanada, Meksiko dan Jepang masuk menjadi anggota TPP dan diterima sebagai “latecomers” dengan syarat tidak mengubah kesepakatan yang sudah dicapai dan tidak punya hak veto terhadap berbagai hal yang sudah dan akan disepakati sembilan anggota asli lainnya," ujarnya.
TPP pada akhirnya memang menjadi kerja sama yang cukup besar karena mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28,1 triliun GDP gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk yang tersebar di Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Cile, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Kanada dan Selandia Baru.
"TPP juga menjadi perjanjian perdagangan bebas yang komprehensif dengan tujuan untuk liberalisasi di berbagai sektor ekonomi, termasuk barang dan jasa, bahkan melampui komitmen yang saat ini berbasiskan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO), namun perlu diingat, perjanjian perdagangan bebas ini amat merugikan rakyat Indonesia," ujarnya. (aka)
BACA JUGA: