Pemerintah Disarankan Tata Kembali Industri Hulu Migas Nasional
Selasa, 17 Maret 2015 -
MerahPutih Nasional - Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas akan selesai pada 2015 ini.
Peneliti Research Institute for Mining and Anergy Economics, Pria Agung Rakhamanto mengatakan industri hulu migas nasional memang perlu ditata kembali setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bernomor 36/PUU-X/2012. Menurutnya, tipikal pola dan sistem pengusahaan hulu migas harus dikelola oleh negara melalui badan pemerintah (G to B). (Baca: Petral Sarang Mafia Migas?)
"Hubungan G to B bukan perdata, tapi hubungan publik. Regime pengusahaan yang sesuai pemberian izin usaha dan pemberian konsesi," kata Agung saat menjadi pembicara diskusi bertajuk "Revisi UU Migas" di press room DPR RI, Selasa (17/3).
Menurut Agung, hubungan G to B berada dibawah undang-undang Migas 22/2001. Di sana, diatur bahwa penataan kembali industri hulu migas nasional perlu melibatkan G1 (Ditjen Migas dan G2 (BP Migas) dan KKKS. Peola pengelolaannya G1 melakukan penyiapan dan tender wilayah kerja. Sementara G2 melakukan penandatanganan dan pelaksanaan KKS.
"Jadi polanya adalah G dan G to B. Dalam praktiknya, KKD yang digunakan adalah PSC," katanya. (Baca: Banyaknya Birokrasi Beri Ruang Mafia Migas)
Namun, kata Agung, jika masih ingin mempertahankan regime "kontrak", maka pola yang sesuai dikehendaki konstitusi adalah B to B. Dengan demikian, katanya, pengelolaan oleh badan usaha milik negara, berkontrak dengan badan usaha milik negara. Tapi, jika ingin menerapkan regime izin atau konsesi maka pola G to B dapat digunakan.
"Mendapatkan izin atau konsesi dari pemerintah, izin/konsesi dapat dicabut sewaktu-waktu," katanya. (hur)