Pancasila Ada pada Naskah Sunda dari Abad 16 M
Rabu, 02 Juni 2021 -
SUKARNO merumuskan Pancasila dari nilai-nilai budaya berlaku di masyarakat Indonesia pada zamannya. Salah satu kebudayaan yang melatarbelakangi Pancasila adalah Sunda.
Menurut Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S., gagasan butir-butir Pancasila terungkap lewat sejumlah naskah Sunda abad ke-16 Masehi.
Baca Juga:

Naskah-naskah Sunda kuno tersebut meliputi, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, dan Sanghyang Raga Dewata.
“Hal ini membuktikan bahwa naskah Sunda kuno sebagai dokumen budaya masa lampau, sejalan dan punya andil dalam menyumbangkan ide, gagasan, dan kebinekaan bangsa Indonesia. Demikian juga naskah dari suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia,” ungkap Elis dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (1/6).
Salah satu kearifan lokal naskah Sunda yang termaktub dalam nomor dan urutan sila-sila dalam Pancasila, terungkap lewat naskah Sanghyang Siksakandang Karesian bagian III. Pada bagian ini, data teks sila Pancasila dapat dijabarkan melalui Panca Tata Gatra. Tata Gatra pertama yaitu Sembah Ing Hulun di Sanghyang Panca Tatagatra, artinya Lima sabda kewajiban menyembah Sanghyang Yang Maha Kuasa sebagai pembimbing alam semesta.
Kedua, Panca Gati, Jaga Rang Dek Luput Ing Na Pancagati Sangsara, yakni lima keadaan asal perilaku manusia yang layak dan tidak layak, yang memerlukan timbangan keadilan dan kebijaksanaan. Ketiga, Panca Byapara Kusika, yakni lima selubung alam, yaitu Akasa, Bayu, Téja, Apah, Pratiwi, atau angkasa, angin, cahaya, air, dan tanah, yang semuanya harus bersatu.
Baca Juga:
5 Destinasi Wisata Indonesia Cocok Jadi Pilihan untuk Remote Working

Keempat, Panca Putra, yang terdiri atas Kusika, Garga, Mésti, Purusa, Patanjala, atau lima perwujudan manusia sebagai penjelmaan Pancakusika, berupa mata pencaharian hidup masyarakat Nusantara, yaitu petani, panyadap (pembuat gula), pemburu/prajurit, bangsawan, dan raja sebagai pengisi negara. Kelima, Tri Tangtu di Bwana/Bumi, Jagat Palangka Di Sang Prabu, Jagat Darana Di Sang Rama, Jagat Kreta Di Sang Resi (Amanat Galunggung, Rekto III), yang merupakan tiga pilar berbangsa dan bernegara.
Teks yang berkaitan dengan lima sila Pancasila dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian bagian IV, menurut Elis dijabarkan bahwa Kahyangan penghuni para dewa lokapala (pelindung dunia), disesuaikan dengan kedudukan mata angin dengan warna masing-masing yang disebut Sanghiyang Wuku Lima Di Bwana, Halimpu Ikang Désa Kabéh.
Naskah tersebut menjelaskan lima kemakmuran seluruh negeri yang dijaga, terdiri dari: Isora yang bertempat di kahyangan sebelah wetan/timur (Purwa), putih warnanya; Daksina (kidul) ‘selatan’, tempat tinggal Hyang Brahma, merah warnanya; c. Pasima (kulon) ‘barat’, tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning warnanya; Utara (kalér ‘utara’) tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya; dan Madya (tengah), tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.
Baca Juga:

Gambaran kosmologis dalam naskah Sanghyang Raga Dewata sejalan dengan gambaran kosmos filsafat Pancasila. Gambaran ini dapat ditemukan pada keempat sila yang bersangkutan, dengan dimensi horisontal yaitu mulai dari sila kedua sampai kelima.“Manusia menempati keempat sila horisontal dalam sila Pancasila. Tetapi bersamanya diasumsikan adanya substansi-substansi infrahuman, yang psikis-sensitif, yang biotik, dan yang fisiokimis,” jelas Elis.
Ia menuturkan, manusia merupakan makhluk individual sekaligus sosial; demikian pula secara lebih universal berlaku bagi segala substansi kosmis di samping manusia.
“Pada akhirnya, keempat sila (sila ke-2 sampai ke-5) tersebut mengacu pada sila pertama, yakni sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Hal ini sejalan pula dengan apa yang digambarkan dalam naskah Sanghyang Raga Dewata, bahwa segala sesuatu berpusat kepada Sanghyang Tunggal (Tuhan Yang Mahaesa),” kata Dosen Program Studi Sastra Sunda ini. (Imanha/Jawa Barat)
Baca Juga: