MUI Keluarkan Fatwa Soal Pajak, Dirjen Segera Tabayyun Biar Tidak Terjadi Polemik
2 jam, 24 menit lalu -
MerahPutih.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa jika objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang dapat digunakan untuk produktivitas dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier.
Fatwa MU ini memutuskan jika pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang huni, tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak
Pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial setara dengan nisab zakat mal yaitu 85 gram emas.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan tabayyun (klarifikasi) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar dapat menyamakan persepsi terkait kesesuaian regulasi perpajakan dengan prinsip keadilan.
Baca juga:
Gerak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan Bikin Penerimaan Pajak Tambah Rp 1,75 Triliun
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyatakan sebelumnya pihaknya telah menyelenggarakan pertemuan pendahuluan dan Focus Group Discussion (FGD) bersama Komisi Fatwa MUI pada September lalu.
“Pada prinsipnya, teman-teman anggota Komisi Fatwa MUI memahami terjemahan dari undang-undang yang kami jelaskan. Mereka lebih ke arah bagaimana umat Islam ini bisa lebih memahami konteks dari sisi kesepakatan para ulama. Nah, setelah ini kami juga akan tabayyun,” ujar Bimo Wijayanto di Denpasar, Bali, Selasa.
Ia menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk menghindari timbulnya polemik atau perbedaan pendapat yang tidak perlu di tengah masyarakat mengenai penyelenggaraan pajak.
Poin krusial yang disoroti dalam prinsip keadilan pajak tersebut adalah prinsip ‘daya pikul’ atau kemampuan membayar dari wajib pajak.
Sistem perpajakan nasional, kata ia, telah merangkul prinsip berkeadilan, yang mana tidak ada pembebanan pajak kepada pihak yang tidak mampu. Dan ada instrumen perlindungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang telah tertuang dalam undang-undang.
“Ini kan sudah ada konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kemudian untuk UMKM juga sudah ada threshold (ambang batas), di bawah (omzet) Rp500 juta tidak kena pajak, sedangkan Rp 500 juta hingga Rp4,8 miliar bisa memanfaatkan pajak final," ucapnya.
Selain pajak terhadap UMKM, isu mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) terhadap aset lembaga keagamaan, seperti pesantren dan sekolah, juga menjadi sorotan. Namun, kewenangan pemungutan PBB-P2 saat ini telah beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (pemda).