MUI Keluarkan Fatwa Soal Pajak, Dirjen Segera Tabayyun Biar Tidak Terjadi Polemik
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto (tengah) menyampaikan pemaparan dalam Media Gathering Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2025 di Denpasar, Bali, Selasa (25/11/2025). DJP Kemenkeu berencana untuk melakukan tabayyun dengan Majelis Ulama Indonesia untuk menyamakan persepsi terkait kesesuaian regulasi perpajakan dengan prinsip keadilan. ANTARA/Uyu Septiyati Liman.
MerahPutih.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa jika objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang dapat digunakan untuk produktivitas dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier.
Fatwa MU ini memutuskan jika pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang huni, tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak
Pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial setara dengan nisab zakat mal yaitu 85 gram emas.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan tabayyun (klarifikasi) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar dapat menyamakan persepsi terkait kesesuaian regulasi perpajakan dengan prinsip keadilan.
Baca juga:
Gerak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan Bikin Penerimaan Pajak Tambah Rp 1,75 Triliun
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyatakan sebelumnya pihaknya telah menyelenggarakan pertemuan pendahuluan dan Focus Group Discussion (FGD) bersama Komisi Fatwa MUI pada September lalu.
“Pada prinsipnya, teman-teman anggota Komisi Fatwa MUI memahami terjemahan dari undang-undang yang kami jelaskan. Mereka lebih ke arah bagaimana umat Islam ini bisa lebih memahami konteks dari sisi kesepakatan para ulama. Nah, setelah ini kami juga akan tabayyun,” ujar Bimo Wijayanto di Denpasar, Bali, Selasa.
Ia menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk menghindari timbulnya polemik atau perbedaan pendapat yang tidak perlu di tengah masyarakat mengenai penyelenggaraan pajak.
Poin krusial yang disoroti dalam prinsip keadilan pajak tersebut adalah prinsip ‘daya pikul’ atau kemampuan membayar dari wajib pajak.
Sistem perpajakan nasional, kata ia, telah merangkul prinsip berkeadilan, yang mana tidak ada pembebanan pajak kepada pihak yang tidak mampu. Dan ada instrumen perlindungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang telah tertuang dalam undang-undang.
“Ini kan sudah ada konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kemudian untuk UMKM juga sudah ada threshold (ambang batas), di bawah (omzet) Rp500 juta tidak kena pajak, sedangkan Rp 500 juta hingga Rp4,8 miliar bisa memanfaatkan pajak final," ucapnya.
Selain pajak terhadap UMKM, isu mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) terhadap aset lembaga keagamaan, seperti pesantren dan sekolah, juga menjadi sorotan. Namun, kewenangan pemungutan PBB-P2 saat ini telah beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (pemda).
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
MUI Keluarkan Fatwa Soal Pajak, Dirjen Segera Tabayyun Biar Tidak Terjadi Polemik
Gerak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan Bikin Penerimaan Pajak Tambah Rp 1,75 Triliun
Penerimaan Pajak Melambat, Ini Alasan Kemenkeu
Proses Pengesahan STNK Tahunan Tidak Perlu BPKB, Ini Syarat dan Mekanisme Lengkapnya
Pendapatan Daerah Hilang Besar, Pemprov DKI Dorong Evaluasi Insentif Kendaraan Listrik
Bekas Dirjen Jadi Tersangka di Jaksa Agung, Menkeu: Bantah Lagi Bersih-Bersih Ditjen Pajak
Kejagung Geledah Sejumlah Tempat Terkait dengan Dugaan Korupsi, DJP Hormati Proses Penegakan Hukum
Pajak UMKM 0,5 Persen Bakal Jadi Permanen, Purbaya Kasih Syarat Ini
Kemenkeu Kejar Pengemplang Pajak Nakal, Targetkan Kantongi Rp 20 Triliun
Roy Suryo Cs Dijadikan Tersangka Kasus Dugaan Hoaks Ijazah Palsu Jokowi, Ketum MUI : Pelajaran agar tak Gampang Caci Maki Orang Lain