Menjaga Tradisi dan Alam Kalimantan lewat Tenun
Selasa, 06 Agustus 2024 -
MERAHPUTIH.COM - DATA The Center for International Forestry Research dan World Agroforestry menyebut antara 2000 dan 2017, terdapat sekitar 59.962 km2 hutan yang hilang di seluruh Kalimantan. Jumlah itu akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penelitian yang diterbitkan pada 2022 menunjukkan terdapat potensi hutan seluas 74.419 kilometer persegi atau setara dengan 10 juta lapangan sepak bola hilang antara 2018 dan 2032.
Eksploitasi lahan dan hutan akibat pertambangan dan perkebunan mengakibatkan hilangnya pepohonan dan tanaman kapas yang menjadi sumber pewarna dan benang kapas. Pembangunan nan berlebihan turut mengubah perubahan prioritas pada masyarakat Dayak Iban. Sebagai akibatnya, tradisi tenun ikut terancam.?
Namun, sebuah usaha baru digalakkan untuk menjaga tadisi tenun tetap hidup. Sejalan dengan itu, konservasi hutan juga dilakukan demi menjaga ketersediaan bahan tenun. Di bawah rimbunnya pepohonan hutan Kalimantan inilah, para perempuan Iban menggabungkan tradisi dan konservasi melalui tenun.
Tenun merupakan bagian dari identitas dan tradisi mereka. Tenun menjadi bagian dari ritus peralihan mereka, yang harus mereka lakukan agar dapat diterima sebagai perempuan di komunitas tersebut. Hasil tradisi tenun ini ialah kain yang dikenakan anggota keluarga, terutama pasangannya, saat acara adat. Beberapa kain bahkan memiliki corak dan warna tertentu serta menjalani ritual untuk mendapat status luhur.
Baca juga:
Keunikan Dompet Badui yang Kian Diminati Hingga Bali, Memiliki Bahan Tenun Khas
Pada 2018, dengan meningkatnya minat dan permintaan terhadap tenun di kalangan masyarakat Indonesia, generasi muda perempuan Iban mencoba menghidupkan kembali praktik tenun dengan memadukan tradisi dan upaya konservasi. Di bawah kepemimpian Margaretha Mala, mereka menggunakan benang yang berbeda untuk menenun kain. Mala mendirikan komunitas Endo Segadok yang menampung para penenun berpengalaman, dan Generasi Lestari, yang mendidik perempuan muda Iban dalam menenun. Secara total ada 58 perempuan yang terlibat dalam komunitas penenun ini.
Mala dan komunitasnya memahami bahwa peningkatan peminat tenun berarti akan ada saatnya produk tenun mereka berisiko diproduksi secara massal sehingga mengurangi nilai budaya dan konservasi. Untuk memastikan tenun tersebut dihasilkan dengan nilai tersebut, masyarakat masih menggunakan pewarna alami yang berasal dari hutannya, sedangkan benangnya merupakan buatan pabrik karena tidak ada lagi tanaman kapas di sekitar komunitas mereka.
Mereka juga memastikan bahwa setiap tenun dibuat sesuai dengan adat istiadat mereka dan pola sakral tertentu, yang memerlukan ritual, tetap menjadi bagian dari budaya mereka dan tidak dijual kepada pelanggan.
?Alih-alih menggunakan kata ‘membeli’ mereka menyebutnya dengan istilah 'mengadopsi' kain tenun. Hal itu menekankan hubungan unik antara penenun dan orang-orang yang memutuskan untuk mengadopsi produk tersebut. Pendekatan itu menumbuhkan rasa keterhubungan dan tanggung jawab karena orang yang mengadopsinya akan menjadi penjaga budaya Iban di tahun-tahun mendatang.
Selain mengajarkan proses menenun, Mala dan komunitasnya juga memberikan akses kepada mereka yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang tenun dan tradisi Iban, terutama hubungannya dengan alam. Mereka membuat tur yang dirancang agar masyarakat dapat mempelajari secara komprehensif tentang kain, budaya, lingkungan, dan orang-orang yang menenunnya. “Berpartisipasi dalam tur ini memberikan apresiasi yang lebih dalam kepada individu terhadap upaya konservasi masyarakat Iban,” kata Mala dalam keterangan resmi yang diterima Merahputih.com.
Dengan menciptakan kegiatan ini, Mala dan komunitasnya bisa menghasilkan pendapatan alternatif dan memberdayakan perempuan muda Iban untuk menjadikan menenun atau mengatur tur sebagai pekerjaan penuh waktu mereka. Bagi laki-laki Iban, hal ini tidak hanya memberikan mata pencaharian alternatif, tetapi juga meningkatkan taraf hidup mereka karena mereka memiliki alternatif selain bekerja di perkebunan.
Untuk memastikan manfaatnya bagi masyarakat, setiap pendapatan akan dibagi di antara anggota masyarakat untuk memastikan bahwa semua orang mendapat manfaat dari tenun tersebut. Saat ini, tenun yang diproduksi Mala dan komunitasnya dihargai Rp 3.000.000 dan bisa mencapai Rp10.000.000.
“Kami berharap upaya dan hasil tenun kami dapat bermanfaat untuk komunitas, baik kami sendiri maupun komunitas lainnya di Indonesia atau di negara lain. Semoga produk budaya yang dihasilkan, terutama batik dan tenun, serta masyarakat yang membuatnya dapat dianggap perlu untuk dijaga keberlanjutannya,” tutup Mala.(*)