Mengenang Kisah Inggit Garnasih, Istri Kedua Bung Karno Terkasih
Sabtu, 17 Februari 2018 -
DI balik kebesaran nama Sukarno, tentu tak bisa dilepaskan dari bayang istri kedua presiden pertama Indonesia itu, Inggit Garnasih. Sejak Sukarno menjadi aktivis dan pejuang kemerdekaan, Inggit merupakan perempuan yang setia menemaninya baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Dalam buku Perempuan Dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih, Reni Nuryanti mengatakan, perempuan yang lahir pada Jumat, 17 Februari 1888, di Desa Kamasan, Banjaran, Bandung, Jawa Barat itu merupakan anak dari pasangan Ardjipan dan Amsi. Ia adalah gadis tercantik yang kerap menjadi rebutan para pemuda. Sebelum menikah dengan Sukarno, Inggit merupakan istri dari Haji Sanusi.
Ketika Sukarno 'Rebut' Istri Anggota SI
Setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS, setara SMA), Sukarno melanjutkan kuliah di Technische Hooge School (sekarang ITB), Bandung. Ketika itu, Sukarno sudah berusia 21 tahun, dan telah memiliki istri bernama Siti Oetari, putri terkasih Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Ketika menjadi mahasiswa, Sukarno indekos di rumah Haji Sanusi, pengusaha sekaligus anggota Sarekat Islam (SI). Di sana pula, Sukarno mulai mengenal Inggit Garnasih yang merupakan istri Haji Sanusi. Meski telah menikah, hubungan antara Haji Sanusi dan Inggit bisa dibilang tak bahagia. Pasalnya, Inggit kerap ditinggalkan sang suami dalam menjalankan usaha dan organisasi SI-nya.
Cindy Heller Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menyebutkan, karena berada dalam satu rumah, Sukarno sering mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan Inggit. Dari itu pula, benih-benih cinta mereka mulai tumbuh.
Akibatnya biduk rumah tangga mereka retak. Sukarno menceraikan Oetari, dan mengembalikannya kepada HOS Tjokroaminoto yang tak lain adalah guru Sukarno ketika di Surabaya. Begitu juga dengan Inggit, Haji Sanusi yang mengetahui kedekatan Inggit dan Sukarno, akhirnya menceraikan Inggit.
Setelah masing-masing bercerai, pada Sabtu, 24 Maret 1923, Sukarno menikahi Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No 1138, tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen dan berbahasa Sunda. Pada saat itu, usia Sukarno 22 tahun dan Inggit 35 tahun.
Tahun 1926 Sukarno lulus dari THS dan meraih gelar insinyur. Pada 4 Juli 1927, Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), sekaligus mengukuhkan diri sebagai ketua. Pada bulan Mei 1928 nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuan utama PNI adalah kemerdekaan Indonesia.
Pergerakan politik Sukarno, membuat pemerintah kolonial Belanda gerah. Pada 29 Desember 1929, Sukarno ditangkap Belanda. Selama masa persidangan, Inggit dengan setia menemani Sukarno, sampai pada akhirnya Sukarno ditempatkan di Penjara Banceuy selama 8 bulan.
Dalam situasi yang sulit itu, Inggit berperan besar untuk membangkitkan kembali semangat Sukarno yang sempat hancur karena harus hidup dalam jeruji besi. Setiap hari, Inggit mengunjungi Sukarno di penjara. Selain itu, Inggit juga sering membawakan buku-buku seperti yang diminta suaminya tercinta.
Selama berada dalam penjara, Sukarno menulis naskah pidato Indonesia Menggugat. Sementara, putusan pengadilan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara bagi Sukarno. Ia dipindahkan ke sebuah penjara baru yang dikenal dengan nama Penjara Sukamiskin.
Penjara tak pernah memudarkan semangat Sukarno untuk memerdekakan Indonesia. Ia terus melakukan kegiatan politik, yang kembali membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan memutuskan mengasingkannya ke Ende, Flores.
Inggit lagi-lagi berperan sangat besar di masa-masa itu. Ia bahkan sampai menjual rumahnya di Bandung dan bersama ibunya, Amsi dan putri angkatnya, Ratna Juami mendampingi Sukarno hidup dalam pengasingan di Ende, Flores, daerah yang sangat asing bagi mereka.
Selama di Ende, Inggit dan Sukarno mendapat tambahan satu lagi anak angkat yang bernama Soekarti. Namun, oleh Sukarno nama Soekarti diubah menjadi Kartika.
Selain beroleh kebahagiaan dengan mendapatkan seorang anak angkat, kesedihan juga melanda Inggit. Sebab, ibunda tercintanya meninggal pada tahun 1935. Amsi meninggal akibat penyakit malaria. Tak lama berselang Sukarno pun jatuh sakit malaria, dan hampir saja merenggut nyawanya. Namun, kabar sakit parah Sukarno sampai ke tanah Jawa.
Tokoh-tokoh pejuang Indonesia di Jakarta, di antaranya Mohammad Husni Thamrin yang juga adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat), mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan Sukarno dari Ende. Atas desakan tersebut, pada 1938 pemerintah Hindia Belanda memutuskan memindahkan Sukarno ke Bengkulu.
Fatmawati, Orang Ketiga dalam Rumah Tangga Sukarno-Inggit
Ketika berada di Bengkulu, rumah tangga Sukarno-Inggit mulai goyah. Hal tersebut disebabkan kehadiran gadis cantik, Fatmawati yang merupakan putri tokoh Muhammadiyah setempat Hasan Din. Ironisnya, Fatmawati adalah kawan sepermainan Ratna Juami, putri angkat Sukarno dan Inggit.
Meski Sukarno jatuh cinta pada Fatmawati dan berniat menikahinya, tapi ia tak ingin menceraikan Inggit. Di hatinya, Inggit masih tak tergantikan. Ia menyadari peran besar dan pengorbanan Inggit selama ini. Namun, di sisi lain Sukarno juga mendambakan keturunan langsung dari dirinya sendiri yang tak bisa dipenuhi Inggit.
Agar tidak menyakiti hati Inggit, Sukarno pernah meminta Inggit untuk sudi dimadu. Namun, Inggit menolak. Tak dinyana, demi Fatmawati, Sukarno pun akhirnya menceraikan Inggit pada tahun 1943 di Bandung.
Selang 17 tahun kemudian, persisnya tahun 1960, Sukarno mengunjungi Inggit yang saat itu sudah berusia 72, di Bandung, Jawa Barat. Kedatangan Sukarno untuk meminta maaf karena telah menyakiti hati Inggit.
"Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini," jawab Inggit seperti yang ditulis Reni Nuryanti dalam buku Perempuan Dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih.
September 1982, kesehatan Inggit pun mulai menurun. Ia terserang penyakit bronchitis. Pada Jumat, 13 April 1984, Inggit Garnasih yang saat itu berusia 96 tahun, mengembuskan napas terakhirnya. Ia dimakamkan di Pemakaman Babakan Ciparay, Bandung.
Bagi Sukarno, Inggit adalah seorang wanita yang bijaksana, pintar melayani suami, dan selalu memberi semangat. Tanpa Inggit, Sukarno tak akan bisa menjadi seorang pemimpin besar. (*)