Mengenal Budaya Berkomunikasi Teman Tuli

Jumat, 16 Desember 2022 - Hendaru Tri Hanggoro

TIAP kelompok masyarakat memiliki budaya. Tak terkecuali bagi mereka yang mempunyai ketidakmampuan (disabilitas) mendengar atau tuli. Masyarakat atau teman tuli menciptakan sendiri budaya yang berbeda dari masyarakat atau teman dengar.

Budaya muncul lantaran adanya kebutuhan bersama untuk meneguhkan identitas. Dalam masyarakat tuli, budaya tuli berkaitan erat dengan cara berkomunikasi. Namun, budaya ini belum begitu dipahami masyarakat dengar.

Menyadari keadaan ini, Muhammad Andika Panji, aktivis tuli sekaligus tutor parakerja mengajak masyarakat untuk mengenali dan memahami budaya tuli, dari panggilan isyarat hingga kebutuhan visualisasi bagi teman tuli dalam berkomunikasi.

“Tuli ini adalah sebuah identitas dan budaya bagi kami. Masyarakat tuli lebih nyaman dipanggil ‘tuli’, tapi kebanyakan ada beberapa yang masih menggunakan kata tunarungu,” kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat dalam media gathering di Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (15/12).

Baca juga:

Festival Setara #BerdayaDenganHati Hadirkan Pelatihan Vokasional bagi Teman Disabilitas

budaya tulis

Tuli adalah sebuah identitas dan budaya (Foto: Pexels/Rodnae Production)

Panji menjelaskan bahwa penggunaan kata 'tunarungu' berasal dari perspektif medis atau kedokteran. Kata ini dipakai dalam Undang-Undang dan aturan turunannya.

Sementara kata 'tuli' justru belum banyak digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang sehingga komunitas tuli masih memperjuangkan kata tersebut untuk masuk di dalam Undang-Undang.

Penelusuran Merahputih.com mendapati bahwa kata 'disabilitas rungu' digunakan empat kali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas. Kata tuli juga termuat di dalamnya, tetapi hanya digunakan sekali. Itu pun segandeng dengan kata 'disabilitas netra-tuli yang artinya keadaan tidak mampu melihat sekaligus mendengar.

Panji, yang juga lulusan fakultas hukum dan advokat, berharap masyarakat bisa menghormati, mengakui, dan melindungi teman-teman disabilitas, termasuk juga teman tuli.

“Saat saya sudah jadi advokat, itu mungkin bisa jadi bahan untuk mengadvokasi pemerintah dan yang lain karena itu termasuk ke dalam hal teman-teman tuli juga untuk dalam penyebutannya,” ungkap Panji.

Panji juga memaparkan keberagaman keadaan masyarakat tuli. Mereka terdiri dari yang total menggunakan bahasa isyarat sebagai cara berkomunikasi, yang tuli separuh, yang menggunakan implan (alat bantu dengar yang ditanam di telinga), dan yang bisa berbicara secara verbal.

Dalam berkomunikasi, masyarakat tuli di Indonesia menggunakan bahasa isyarat yang disebut Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Bahasa isyarat ini dibuat dengan melibatkan komunitas tuli secara langsung dan berdasarkan riset.

Baca juga:

Kisah Inspiratif Konten Kreator Disabilitas Konsisten Berkarya Meski Memiliki Keterbatasan

budaya tuli

Masyarakat yang ingin mempelajari bahasa isyarat, sebaiknya belajar secara langsung kepada komunitas tuli. (Foto: Unsplash/Jo Hilton)

Ada pula jenis bahasa isyarat lain, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Bedanya, perumusan SIBI tanpa melibatkan komunitas tuli dan hanya mengadaptasi dari Bahasa Isyarat Amerika (ASL) atau Bahasa Inggris Bertanda Tepat (SEE-II).

Panji mengatakan masyarakat yang ingin mempelajari bahasa isyarat, sebaiknya belajar secara langsung kepada komunitas tuli. Bukan dengan orang dengan pendengaran normal untuk menghindari kesalahpahaman.

“Kenapa, sih, kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli,” cerita Panji.

Masyarakat tuli mempunyai sejumlah keunikan budaya. Misalnya mereka biasa mengobrol selagi makan. Ini karena komunitas tuli tidak menggunakan gerakan mulut dalam berbahasa isyarat. Dalam budaya tuli pula, Panji mengatakan, biasanya seseorang memiliki panggilan isyarat tertentu yang menjadi ciri khasnya.

Ketika memanggil teman tuli dalam jarak dekat, hendaknya tepuk bahunya terlebih dahulu. Apabila telah mengenal dekat dengan teman tuli, barulah memanggil dengan isyarat cahaya dari ponsel ketika dalam jarak yang cukup jauh.

Apabila lawan bicara belum bisa menguasai bahasa isyarat, boleh berkomunikasi dengan menggunakan teks atau panggilan video jarak jauh. Pencahayaan memainkan peran cukup penting dalam komunikasi masyarakat tuli. Mereka sangat kuat secara visual dan membutuhkan visualisasi yang memadai untuk berkomunikasi.

Ketika dalam kondisi pertemuan besar, seperti rapat, komunitas tuli membutuhkan posisi yang memungkinkan mereka untuk berhadap-hadapan. Karena itu, penggunaan meja berbentuk ‘letter o’ atau ‘letter u’ lebih ideal untuk mereka. (dru)

Baca juga:

Alasan 'LEGO Friends' Kenalkan Karakter Berbagai Ras dan Disabilitas

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan