Koteka, Simbol Keterbelakangan Sekaligus Perlawanan

Minggu, 06 Agustus 2017 - Rina Garmina

APA yang tebersit di benak Anda saat melihat koteka? Mungkin Papua, suku Dani dan fungsi koteka sebagai pembungkus penis. Pikiran tersebut tidak salah. Akan tetapi, koteka sebenarnya memiliki fungsi lain.

Sebagaimana dilansir historia.id, koteka merupakan penanda status sosial dan juga simbol perlawanan. Dani, suku terbesar yang mendiami Baliem, menamai penutup penis dengan holim. Labu kering yang menjadi bahan pembungkus utama holim mereka sebut kio. Biasanya kio diambil dari pohon labu yang ditanam di lahan pekarangan sekitar rumah alias osilimo yang terdiri dari beberapa unit rumah.

Lantas, dari mana datangnya istilah koteka? Koteka diambil dari bahasa Mee, dahulu disebut bahasa Ekagi atau Ekari, yang artinya pakaian. Istilah ini biasanya dipakai orang-orang Mee, suku yang berasal dari bagian barat Pegunungan Tengah di Papua. Oleh guru-guru sekolah pemerintah Belanda yang mengajar di lembah Baliem pada akhir 1940 hingga 1950, nama koteka mulai diperkenalkan kepada murid-murid mereka.

"Saat ini masyarakat yang masih mengenakan koteka terdapat di wilayah adat Mee Pago (suku Mee dan Moni) dan La Pago (suku Lani, Dani, Yali, Katengban, dan Ngalum)," ungkap pelajar adat dan budaya Papua di Jayapura, Ibiroma Wamla.

Menurut Ibiroma, suku-suku itu kebanyakan bermukim di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang terbentang dari Danau Paniai, lembah besar Baliem, dan pegunungan Jayawijaya.

Proses pembuatan

Labu menjadi kunci pembuatan koteka. Labu yang tumbuh di pohon setelah beberapa bulat diikat dengan batu. Tujuannya agar labu berbentuk tegak lurus. Agar bentuknya melengkung, batu yang diikatkan pada labu dilepas.

Bentuk lengkungan koteka juga ternyata menunjukkan kelas sosial penggunanya. Koteka yang ujungnya melengkung ke depan atau kolo menandai kalau pemakainya adalah pemimpin konfederasi alias klan. Jika ujungnya melengkung ke samping (haliag), tandanya penggunanya berasal dari kelas menengah seperti Ap Menteg (panglima perang) dan Ap Ubalik (tabib dan pemimpin adat). Sedangkan koteka berbentuk tegak lurus dipakai masyarakat biasa.

Selanjutnya, labu yang siap panen dipetik, kemudian dikeringkan di perapian. Isi labu yang sudah kering dikeluarkan. Hasilnya, diperolehlah kulit labu keras. Kulit labu ini dibersihkan dan dikeringkan lagi di perapian. Proses pembuatannya memakan waktu satu hingga dua minggu. Waktu terlama digunakan untuk proses pengeringan.

Di bagian ujung koteka biasanya terlihat sepasang jambul dari bulu ayam atau burung. Nah, jambul tersebut ternyata berfungsi sebagai penambah kesan gagah dan menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Koteka biasanya mulai dikenakan oleh anak-anak berusia lima tahun. Koteka yang telah digunakan akan menyatu dengan pemiliknya dan baru diganti setelah rusak.

Kini koteka seringkali dijadikan buah tangan oleh pelancong yang berkunjung ke Papua. Anda punya benda ini? Coba cek bentuk lengkungannya agar Anda dapat mengetahui siapa seharusnya kelas sosial yang menggunakan koteka tersebut. (*)

Selain koteka, Anda juga sebaiknya mengenal lebih jauh tentang suku Dani. Yuk dapatkan informasinya di sini: Mengenal Lebih Dekat Suku Dani Dari Papua.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan