Kebijakan Wajib PCR Bagi Pengguna Transportasi Diharap Tak Bertujuan untuk Bisnis

Jumat, 29 Oktober 2021 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Pemerintah mengeluarkan aturan wajiban test PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat keluar-masuk Jawa-Bali dan serta perjalanan darat laut udara di pulau Jawa Bali.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut bahwa kebijakan ini lebih kuat muatan bisnisnya daripada tujuan kesehatan.

Baca Juga

Alasan Ngotot Pemerintah Wajibkan Penumpang Pesawat Tes PCR

“Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp 2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp 523 miliar," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (29/10).

Anggota Badan Anggaran DPR RI ini kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Ia mencontohkan, mebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu – 200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit.

Jika harga tes PCR Rp 300.000 saja potensinya mencapai Rp 800 milliar sampai Rp 1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi COVID-19 telah dilakukan tes COVID-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes COVID-19 sudah menembus angka Rp 15 triliun.

"Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu," jelas Sukamta.

Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp 7,3 triliun.

Ilustrasi - Salah satu warga menjalani swab PCR (polymerase chain reaction) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. ANTARA/Nirkomala
Warga menjalani swab PCR (polymerase chain reaction) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. ANTARA/Nirkomala

Tiongkok dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dolar, disusul AS sebesar USD 45 juta dolar, Jerman USD 33 juta dolar.

Kedua, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan alasan bahwa motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan yaitu vaksinasi dan kebijakan pembatasan pergerakan.

“Persyararatan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh," sebut Sukamta.

Pernyataan Sukamta ini didasari oleh beberapa hal. Pertama, kondisi di Indonesia status covid telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah.

Baca Juga

Lebih Mahal Dibanding Tiket, Harga Tes PCR Didesak Hanya Rp 150 Ribu

Test PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus COVID-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran massif tidak akan berdampak signifikan.

Kedua, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan ini kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi. Jumlah vaksinasi dosis 1 telah mencapai 50 persen, dan dosis 2 30an persen. Alasan giatnya masyarakat vaksinasi agar bisa segera beraktifitas secara normal.

“Setelah edaran ini dijalankan rakyat menjadi malas untuk ikut vaksinasi,” sebut wakil ketua Fraksi PKS DPR RI ini. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan