Fatwa MUI Terkait 'Serangan Fajar', Haram dan Tak Berkah

Selasa, 13 Februari 2024 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Fenomena politik uang jelang pemungutan suara atau ‘serangan fajar’ berpotensi terjadi pada detik akhir Pemilu 2024.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai 'serangan fajar' alias politik uang pada Pemilu 2024.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh, mengatakan, praktik tersebut hukumnya haram bagi pemberi maupun penerima.

"Hukumnya haram. Menerima sogokan politik yang kemudian mendorong orang untuk memilih orang yang tidak kompeten hukumnya haram," ujar Niam dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/2).

Menurut dia, tak boleh memilih karena sebab sogokan atau pemberian harta semata.

Baca juga:

TPN Minta Fatwa MA Permudah Perantau Tunaikan Hak Pilih

“Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal dengan serangan fajar,” jelas dia.

Asrorun menyatakan, para pemberi dan penerima serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.

Terlepas dari itu, Niam mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dan tidak golput pada pemilu serentak, Rabu (13/2).

Namun, dalam memilih pemimpin, harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi untuk mengemban amanah kepemimpinan agar mewujudkan kemaslahatan.

Dalam memilih pemimpin, Asrorun menambahkan, juga harus didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fatanah atau memiliki kompetensi.

"Setelah mendengar visi dan misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah Swt agar diberi pemimpin yang sidik atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya," tuturnya.

MUI telah menetapkan fatwa tentang hukum permintaan dan atau pemberian imbalan atas pencalonan pejabat publik.

Penetapan fatwa tersebut sudah ditetapkan dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.

Berikut bunyi ketetapan fatwa tersebut:

1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apa pun terhadap pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenangannya hukumnya haram karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.

2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.

3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.

4. Imbalan yang diberikan dalam pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum. (knu)

Baca juga:

Menag Yaqut Sebut Fatwa Haram Produk Israel Bentuk Solidaritas terhadap Palestina

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan