Baja Impor Banjiri Pasar, Ketua Komisi VI DPR Soroti Lemahnya Perlindungan

Selasa, 11 November 2025 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Ermarini, menyoroti kondisi industri baja nasional yang saat ini berada dalam situasi kritis atau darurat. Keberadaan industri baja dalam negeri terancam serius akibat banjirnya baja impor yang masuk dengan praktik perdagangan tidak adil.

"Pada tanggal 30 September 2025, Komisi VI menerima laporan kondisi darurat industri baja nasional akibat banjir impor baja dengan pola perdagangan yang tidak adil, mulai dari praktik dumping (menjual barang di bawah harga normal untuk menguasai pasar), hingga predatory pricing, di mana harga ditekan serendah mungkin agar pesaing lokal bangkrut," ungkap Anggia yang dikutip pada Selasa (11/11).

Baca juga:

PHK di Industri Pertambangan dan Perdagangan Sumbang Tingginya Angka Pengangguran di Indonesia

Anggia menegaskan bahwa baja adalah sektor strategis yang dijuluki “mother of industry” karena hampir seluruh sektor ekonomi, mulai dari konstruksi, infrastruktur, manufaktur, energi, perdagangan, hingga industri farmasi dan kosmetik, sangat bergantung padanya.

"Fakta yang kita hadapi saat ini memang sangat memprihatinkan. Industri baja adalah jantung dari banyak sektor ekonomi. Jika sektor ini sakit, maka banyak sektor lain ikut terguncang," tegasnya.

Tiga Masalah Kritis yang Melumpuhkan Industri Baja

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB itu merinci tiga persoalan utama yang memperburuk kondisi industri baja nasional berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI:

  1. Banjir Baja Impor dengan Kecurangan: Masuknya baja impor dengan harga dumping diperparah oleh adanya pengelabuhan HS Code dan transit di kawasan perdagangan bebas. Hal ini menyebabkan produk impor dengan mudah membanjiri pasar domestik tanpa pengawasan yang memadai.

  2. Instrumen Safeguard yang Lambat: Mekanisme perlindungan perdagangan (safeguard) berjalan sangat lambat dan tidak efektif. Proses penetapan bea masuk tambahan, seperti anti-dumping duties, bisa memakan waktu hingga 24 bulan. Padahal, di banyak negara lain, proses serupa dapat diselesaikan jauh lebih cepat, yaitu hanya 2–3 bulan (60–90 hari).

  3. Izin Impor Tanpa Pertimbangan Kapasitas Lokal: Penerbitan izin impor sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan secara cermat kapasitas produksi baja dalam negeri, yang akhirnya membuat produk lokal kalah bersaing di pasar sendiri.

Baca juga:

Sukses Royal Agro Industri Teken Penjualan Ekspor di Trade Expo Indonesia 2025

Anggia mengingatkan bahwa industri baja merupakan indikator penting dari kesehatan ekonomi nasional. Menurunnya permintaan baja adalah sinyal perlambatan aktivitas industri dan pembangunan di berbagai sektor.

"Kalau kebutuhan baja di pasar menurun, itu tanda ekonomi sedang tidak sehat. Karena pembangunan dan industri pasti melambat. Oleh karena itu, kita harus menjaga, menyelamatkan, dan mencari langkah konkret untuk memperkuat industri baja nasional," tutupnya.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan