Akankah PP 56/2021 Jadi Solusi untuk Para Pencipta Lagu?
Jumat, 09 April 2021 -
PRESIDEN Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 56 Tahun 2021, tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik pada 30 Maret 2021.
Berita ini sontak menjadi kabar baik tidak hanya bagi musisi itu saja. Para manajer, produser lagu, hingga publisher juga menanggapi positif keputusan presiden tersebut.
Hal ini dikarenakan salah satu pasal mewajibkan tempat-tempat komersial membayarkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak lagu untuk setiap musik yang diperdengarkan di tempat komersil.
Baca juga:
PP Royalti Bikin LMK Punya Kekuatan Tagih dan Salurkan Hak Insan Musik
Sebelum itu, sebenarnya permasalahan royalti ini telah disinggung dalam UU 28/2014 tentang Hak Cipta. Seperti pada pasal 1 ayat 22 yang menyebutkan, bahwa tanggung jawab royalti dipegang oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
“Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam menghimpun dan mendistribusikan royalti.”
Opini

Melihat hal tersebut, Praktisi Bisnis Musik, Aldo Sianturi kepada Merah Putih menyambut baik PP yang baru saja ditekan oleh Presiden Joko Widodo.
“Aku menyambut baik PP 56/2021, selama berpihak penuh kepada para pencipta lagu. Lebih jauh lagi, harapan untuk PP ini sama seperti semua orang. Ini menjadi satu solusi bagi pemilik hak cipta yang selama ini terlupakan dan terpinggirkan dalam sistem komersialisasi konten musik di Indonesia,” ungkapnya.
Selain itu, manajer sekaligus program director untuk M Bloc Space, Wendi Putranto menganggap PP56/2021 akan membantu para pencipta lagu mendapat manfaat dari royalti tersebut.
“Pada prinsipnya setuju dengan royalti yang didapatkan oleh pencipta lagu ketika karya mereka dimainkan di depan umum, khususnya tempat komersial. Sehingga menjamin para pencipta lagu mendapatkan manfaat ekonomi,” ucap Wendi kepada Merah Putih, Jumat (9/4).
Senada dengan Wendi, manajemen artis, Uga pun mengungkapkan bahwa PP 56/2021 ini sangat penting baginya, maupun para musisi yang menjadi tanggung jawabnya.
“Tugas kami sebagai manajer untuk mengedukasi dan mengingatkan musisi bagaimana caranya untuk mendaftarkan karyanya ke badan hukum yang melindungi hak cipta penyanyi dan lagu. Kami manajer menyambut baik sekaligus menjadikan ini bahan edukasi untuk para musisi,” jelasnya.
Garis Besar

Secara garis besar, PP ini mewajibkan pembayaran royalti oleh setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial maupun untuk layanan publik.
Dilansir dari Salinan PP 56/2021 pada pasal 3 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.”
LMKN yang dimaksud adalah lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk Menteri berdasarkan undang-undang mengenai Hak Cipta. LMKN berwenang menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
Saat ini, Lembanga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah terbentuk dan sudah banyak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bediri. LMK terbagi menjadi dua, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
Lembaga Manajemen Kolektif Hak Cipta, seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Karya Cipta Indonesia (KCI), yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pencipta atau pemegang hak cipta dari karya yang didaftarkan.
Sementara Lembaga Manajemen Kolektif Hak Terkait, seperti Anugerah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dan PRISINDO, yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pelaku pertunjukan seperti musisi dan produser dari karya yang didaftarkan.
Perlu digarisbawahi untuk menerima royalti tersebut, para pemusik hingga pelaku pertunjukan harus menjadi anggota salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk mendapatkan hak ekonomi, termasuk royalti. Insan musik yang memiliki peran ganda sebagai pencipta lagu dan penampil bisa tergabung dalam dua LMK, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
“Sudah saatnya musisi sadar untuk menghargai karyanya sendiri, mencari hak-haknya di tempat lain selain perfoming right mereka yang sebenarnya bisa mendatangkan pundi-pundi rezeki dari mereka sendiri," tambah Uga.
Seperti yang tertulis pada PP 56/2021 Pasal 1 Ayat 3, royalti yang dimaksud adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau pemiliki Hak Terkait.
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada PP 56/2021 pasal 3 ayat 2 meliputi: seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotik, konser musik, pesawat udara, busa, kereta api, kapal laut, pameran, bazar, bioskop, kemudian nada tunggu telepon.
Tidak hanya itu, bank, kantor, pertokoan, pusat rekreasi, hotel, usaha karaoke, Lembaga penyiaran televisi hingga Lembaga penyiaran radio juga dikenakan pembagian royalti.
Baca juga:
Lindungi Hak Cipta Musisi, Pemerintah Bakal Bangun Pusat Data Lagu dan Musik
Mekanisme Pembayaran Royalti

Lalu bagaimana mekanisme cara pembayaran royalti? Dilansir dari Bisnis.com, royalti dari setiap industri hiburan akan dikumpulkan dan dihimpun oleh divisi Koordinator Pelaksana Penarikan dan Penghimpunan Royalti (KP3R) LMKN yang beranggotakan perwakilan dari setiap LMK.
Royalti yang telah dihimpun akan didistribusikan berdasarkan laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang ada di SILM (Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik).
SILM sendiri merupakan sistem informasi dan data yang digunakan dalam pendistribusian royalti lagu atau musik. Nantinya, royalti akan segera didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hal terkait melalui LMK.
Biasanya penarikan dilakukan dengan cara mendatangi langsung pelaku industri. Tak jarang yang membayara royalt tersebut sesuai dengan aturan, tapi tanpa menyertakan daftar lagu apa saja yang pernah diputar lokasi usahanya. Karena, sebelumnya sudah menyatakan pendataan lagu yang diputar seharusnya dilakukan dengan baik karena akan mempengaruhi royalti untuk pemilik hak cipta.
“Kami ada mekanisme, lagu yang diputar di industry tadi didata penyanyinya, penciptanua, perekamnya. Kali tidak ada data lengkap ya salah satunya saja. Nah, data dari 100 user contonhnya, itu berpeluang menjadi rebutan dan masalah dispute,” ucap Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) James F. Sunda.
Dikarenakan pendataan karya musik yang diputar di tiap-tiap industri belum bagus. Oleh karena itu, LMKN biasanya tidak langsung membagi habis hasil penghimpunan royalti tersebut.
Dana dari industri dibagikan lagi peruntukannya. Dari 100 persen dana yang dikumpulkan, lima persen akan disisihkan untuk pembiayaan operasional LMKN.
Kemudian untuk 8 sampai 12 persen dana disisakan untuk dana cadangan (reserve account). Dana cadangan diperlukan untuk membayar royalti atas pemakaian karya musik yang belum diketahui jelas pencipta, penyanyi, atau perekamnya.
Setelah itu, 85 persen sisa dana akan dibagi dua. Ada 42,2 persen dana hasil pungutan yang langsung dibagikan ke pemilik hak cipta sesuai data dan sisanya dibagikan berdasarkan kesepakatan semua LMK.
Apakah PP 56/2021 bisa menjadi solusi bagi para musisi untuk mendapat keadilan, bila berbicara tentang royalti? Terlepas dari semua itu, kita bisa melihat, bahwa Presiden Joko Widodo memang memperhatikan kesejahteraan para seniman, dalam hal ini terutama para musisi dan pencipta lagu. Salah satu buktinya dengan ditekannya PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah lembaga yang bertanggung jawab atas semua pendirstribusian, mekanisme, hingga pencairan untuk royalti akan berjalan secara transparan, terbuka dan benar? (far)
Baca juga: