Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dari Mekah untuk Indonesia

Minggu, 20 Mei 2018 - Zaimul Haq Elfan Habib

SEPULANG sekolah Ahmad Khatib al-Minangkabawi selalu belajar ilmu mabadi’ atau dasar-dasar ilmu agama Islam kepada ayahnya, Abdul Latif, selain mendaras Al quran. Di usia 9 tahun, Pada 1871 Ahmad berhasil berhasil menyelesaikan pendidikan formal di Kweekschool.

Tak berselang lama, sang ayah mengajaknya pergi jauh ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah Haji. Ibadah selesai. Abdul Latif pulang ke ranah Minang, sedangkan Ahmad tinggal untuk menuntut ilmu dan menyelesaikan hafalan Al quran.

Di Mekah, Syaikh Khatib banyak berguru kepada ulama-ulama besar. Sikap elok yang dimilikinya membuat para ulama senang mengguruinya. "Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu," tulis Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39.

Banyak ilmu sudah dikunyahnya di Arab Saudi sana. Terbukti, dari petualangannya di sana Syaikh Khatib sudah menjadi pakar beberapa ilmu, seperti hukum waris, ilmu falak, geometri, trigonometri, hingga teologi. Namun, Syaikh Khatib lebih dikenal dengan ilmu mazhab Syafi’i-nya.

Kisah Menjadi Imam Besar Masjidil Haram

Keteladanannya dalam menuntut ilmu berbuah manis. Syaikh Khatib diangkatnya menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Syaikh Khatib diangkat menjadi staf pengajar di Masjidil Haram karena perannya meluruskan bacaan imam yang salah saat salat. "Suatu ketika dalam sebuah salat berjamaah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikh Khatib membetulkan bacaan imam," tulis Hamka dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera.

Usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk mazhab Syafi’i.

Namun, ada juga pendapat lain tentang pengangkatan Syaikh Khatib menjadi staf pengajar di Masjidil Haram. Umar Abdul Jabbar mengatakan, Syaikh Khatib diangkat menjadi imam berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq.

Al-Minangkabawi untuk Indonesia

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bersama orang-orang di sekitarnya. (Foto/ipnu.or.id)
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bersama orang-orang di sekitarnya. (Foto/ipnu.or.id)

Sejak kecil, Syaikh Khatib sudah tinggal di Mekah, tapi hubungannya untuk Indonesia tidak pernah putus. Ia banyak mendidik pelajar Indonesia yang datang ke Mekah untuk dikembangkan di Indonesia. Tak sedikit pula muridnya tersebut menjadi tokoh besar di negaranya.

K.H. Hasjim Asy'ari salah satu muridnya yang tergolong sukses. Sepulangnya dari Mekah, Hasjim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Selain itu, Asy'ari juga menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU).

Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis juga pernah berguru kepada Syaikh Khatib. Selain menjadi pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan juga telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah atau Haji Rasul juga pernah mengenyam pendidikan darinya. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia ini terkenal dengan karyanya yang berjudul "Al Qaulush Shahih" membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.

Ahmad Khatib Datuk Batuah, atau haji merah pernah menuntut ilmu kepada Syaikh Khatib selama 6 tahun (1909-1915). Datuak Batuah dikenal dengan ilmu kumunih-nya. Ia menjadi Ketua pertama Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang Padang panjang. Propagandanya pada masyarakat untuk melawan belanda tergolong sukses.

Al-Minangkabawi untuk untuk Minangkabau

Meski tinggal jauh di negeri orang, Syaikh Khatib tak pernah lupa dengan kampung halamannya. Ilmu yang diperoleh selalu sampaikan kepada masyarakat Minangkabau. Syeikh Ahmad Khatib banyak menentang praktek tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah di Minangkabau.

Menurutnya, tarekat naqsyabandi telah tergolong bid’ah karena tidak terdapat pada masa Rasul dan para sahabat dan tidak pernah diamalkan oleh imam mazhab yang empat. Penolakannya terhadap praktek tarekat naqsyabandi diungkapkan dalam buku “Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin” yang artinya menjelaskan kekeliruan para pendusta.

Selain itu, Syeikh Ahmad juga pernah menentang praktek-praktek adat dan tingkah laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan beliau menolak hukum waris adat Minangkabau. Kritik Syeikh Ahmad terhadap hukum adat ini ia tuangkan dalam buku “seruan yang di didengar dalam menolak per-warisan kepada saudara dan anak-anak saudara perempuan beserta dasar dan perincian”. ditulis dalam bahasa arab dan dicetak di mesir pada tahun 1309 H. (Zai)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan