5 Pasal Kontroversial dalam RUU Perampasan Aset yang Perlu Direvisi, Pakar UNM Ungkap Risiko Kriminalisasi dan Kehilangan Kepercayaan Publik
Rabu, 17 September 2025 -
Merahputih.com - Guru Besar dari Universitas Negeri Makassar (UNM), menyarankan agar definisi berbagai pasal yang kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset diperjelas.
RUU ini disebut-sebut sebagai alat ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa, tetapi menurut Prof. Harris, terdapat lima pasal yang perlu dicermati.
"RUU ini punya tujuan mulia, tetapi ada lima pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara," kata Prof. Harris dalam keterangan tertulis, Rabu (17/9).
Baca juga:
Aksi Unjuk Rasa Tuntut Sahkan RUU Perampasan Aset di Depan Gedung DPR
Ia menilai kelima pasal tersebut mengandung multitafsir dan berpotensi menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pasal-pasal ini diperbaiki sebelum disahkan.
Berikut adalah kelima pasal yang disoroti oleh Prof. Harris:
-
Pasal 2
Pasal ini memungkinkan negara merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini dianggap menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pengusaha atau pedagang dengan administrasi pembukuan yang lemah bisa dianggap memiliki kekayaan tidak sah. -
Pasal 3
Pasal ini menyebutkan aset bisa dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya masih berjalan. Prof. Harris menilai hal ini akan menciptakan dualisme hukum perdata dan pidana, di mana masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: asetnya dirampas sementara dirinya tetap diadili. -
Pasal 5 ayat (2) huruf a
Pasal ini menyatakan perampasan bisa dilakukan jika jumlah harta dianggap "tidak seimbang" dengan penghasilan sah. Prof. Harris menyoroti frasa "tidak seimbang" yang sangat subjektif. Sebagai contoh, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya. -
Pasal 6 ayat (1)
Pasal ini mengatur bahwa aset senilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Batas nominal ini dianggap bisa menyebabkan salah sasaran. "Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp100 juta,” ujar Prof. Harris yang juga Wakil Rektor Universitas Jayabaya. -
Pasal 7 ayat (1)
Pasal ini memungkinkan aset tetap dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Hal ini berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beriktikad baik. Misalnya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan karena orang tuanya pernah dituduh melakukan tindak pidana.
Mengingat risiko-risiko tersebut, Prof. Harris menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam proses perampasan aset. Ia berharap proses ini bisa terbuka dan diawasi oleh media serta masyarakat.
Ia juga menyarankan agar negara menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
"Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak," ungkapnya.
Baca juga:
DPR dan Pemerintah Sudah Satu Suara Soal RUU Perampasan Aset, Minta Rakyat Sedikit Bersabar
Selain itu, ia berharap pemerintah bisa melakukan sosialisasi dan literasi hukum secara masif sebelum RUU ini diimplementasikan. Rakyat harus diedukasi mengenai hak-hak mereka agar tidak mudah diintimidasi.
"Karena ibarat pedang bermata dua, dirinya menilai rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi, sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen,” tutup Prof. Harris.