Nanti Kita Cerita Taman Hutan 'Impian' Bukit Soeharto


Papan tanda Tahura Bukit Soeharto, Kalimantan. (Wikipedia)
BELUM begitu ajek alasan mengapa Taman Hutan Raya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, bernama Bukit Soeharto. Penamaan itu, melansir antaranews.com, tak lepas dari fakta historis Presiden Soeharto pernah melakukan perjalanan darat dari Balikpapan menuju Samarinda melintasi bukit tersebut. Namun, tak jelas dalam rangka apa Soeharto berjalan kaki? Melakoni tugas militer selagi masih aktif di Angkatan Darat? Atau perjalanan kepresidenan?
Argumentasi itu dibantah Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Dr Rustam Fahmi pada seminar "Kesiapan Kaltim Menjadi Daerah Perpindahan Ibu Kota Negara”, di Pendopo Lamin Etam Kantor Gubernur Kaltim, (27/7/19).
Mula penamaan Bukit Soeharto, menurut Fahmi dikutip beritakaltim.com, merupakan usulan Profesor Iman Kuncoro. Pada 1982, setelah sebelumnya dikuasai perusahaan RDR, kawasan hutan itu diserahkan kepada Gubernur Kaltim untuk ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung. Dalam prosesnya, pegiat lingkungan Universitas Mulawarman ikut berpartisipasi aktif hingga tujuan itu tercapai. Nama Bukit Soeharto, lanjut Fahmi, tidak bermakna apa-apa selain hanya untuk mempermudah pemerintah pusat menyetujui penetapan kawasan itu menjadi Hutan Lindung.
Meski begitu, keterangan Fahmi juga tak bisa dikonfirmasi dengan catatan lain mengenai penetapan kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto. Di sisi lain, pernah pula beredar desas-desus di masyarakat tentang kepemilikan kawasan itu telah berpindah kepada Soeharto, sehingga namanya digunakan untuk penamaan wilayah Hutan Lindung.
Sempat ada usul penggantian nama Bukit Soeharto dari anggota DRPD Kalimantan Timur. Usulan itu tercetus usai anggota DPRD Kaltim menyampaikan pendapat masing-masing fraksi pada pembahasan Nota Keuangan Perhitungan APBD Kaltim 1998/1999 dipimpin Ketua DPRD Kaltim H Harsono, 12 Agustus 1999.
Perwakilan masing-masing fraksi menginginkan nama Bukit Soeharto diubah menjadi Mulawarman sesuai dengan identitas Kalimantan Timur. Hingga kini usulan itu belum juga bersambut.
Di masa pemerintah Orde Baru tentu saja usul semacam itu tak akan pernah tercetus. Pemerintah bahkan acap membanggakan Bukit Soeharto kepada tamu-tamu negara.
Beberapa tamu luar negeri acap diajak para menteri berkunjung melihat keragaman tanaman hutan tropis. Salah satunya, rombongan Parlemen Jerman pada tahun 1993. Rombongan itu, seturut Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam berita: 1993, sangat terkesan dengan penataan Tahura Bukit Soeharto. Mereka pun berpesan agar kelestariannya harus tetap terjaga.
Di atas permukaan, panorama Bukit Soeharto memang mempesona dengan rimbunan pohon dan aneka satwa, namun di dalamnya ternyata menyimpan bara dalam sekam.
Bara Sekam

Kemarau panjang menerpa Kalimantan sepanjang 11 bulan, terhitung rentang 1982-1983. Tanah mengeras. Pepohonan kerempeng ditinggal dedaunan. Sungai dan danau mengering. Lahan-lahan di beberapa tempat daerah Kalimantan, terutama Bukit Soeharto mulai mengeluarkan asap. Makin hari, kobar api makin membesar. "Si Jago Merah" mengamuk. Kebakaran meluas.
Kebakaran hebat di Bukit Soeharto baru beroleh perhatian publik dalam dan luar negeri ketika kepulan asap pekat mulai mengganggu penerbangan. Api berasal dari terbakarnya lapisan batu bara di bawah permukaan tanah, lalu membakar ilalang dan pepohonan kering. Nyala batu bara itu tak bisa langsung padam dengan disiram air.
Upaya pengerahan tenaga pemadam dengan cara melokalisasi atau membuat sekat agar titik api tidak menyebar, dan penyemprotan air melalui pesawat hercules tak mampu membuat api padam. Tercatat terdapat enam titik api dalam wilayah seluas 27.000 hektare. Nyala batu bara itu kemudian menjadi deposit atau potensi titik api penyulut kebakaran di tahun selanjutnya.
Kebakaran kembali terjadi di musim kemarau tahun 1987. Terdapat 23 titik api. Endapan batu bara terbakar coba dipadamkan dengan cara memutus hubungan kontak dengan oksigen.
Cara itu juga sangat sulit lantaran setiap endapan batu bara terbakar membuat retakan permukaan tanah sehingga memungkinkan terus terjadi kontak dengan oksigen. Pemadaman menggunakan penyemprotan lumpur pun tak juga membantu.
Kebakaran tahun 1987, menurut Kompas 1 Oktober 1994, melanda 1.785 hektar hutan, semak, kebun, dan hutan anggrek Kersik Luway dengan taksiran kerugian Rp 1,028 milyar. Jumlah itu termasuk 600 hektar hutan lindung Bukit Soeharto, serta puluhan ribu hektar areal reboisasi dan hutan tanaman industri (HTI) di berbagai tempat. Dari komposisi tanah, Bukit Soeharto memang daerah rawan kebakaran. Titik api akan membesar terjadi pada musim kemarau panjang. Kebakaran belum juga berakhir sejak 1982, 1987, 1993, 1998, 2009, sampai 2019. Padahal fungsi Hutan Lindung itu, meski di tahun-tahun tertentu berubah-ubah, masih sangat penting bagi pelestarian alam.
Impian Pelestarian

Bukit Soeharto semula merupakan hutan lindung seluas 27.000 hektar, dibelah jalan raya Samarinda-Balikpapan. Kawasan itu kemudian dimekarkan menjadi 61.850 hektar untuk keperluan pengembangan Taman Hutan Raya (Tahura). Perluasan meliputi kawasan hutan mangrove di pesisir Selat Makassar dan tujuh desa di kecamatan Samboja.
Tahura kemudian berkembang menjadi beragam peruntukan, mulai dari hutan lindung, wisata, safari, danau buatan, hutan penelitian, hutan pendidikan dan latihan, serta suaka margasatwa. Proyek Tahura pada 1987 memakan biaya sebesar Rp 66 milyar.
Sebagai semacam 'jendela' hutan tropis basah, Bukit Soeharto memeliki posisi strategis. Di hutan Wanariset Samboja, menurut peneliti Kehutanan Dr Willy Smits, dikutip Kompas, setidaknya ada 250 jenis pohon dalam satu areal hutan. Terdiri dari pohon-pohon kayu keras, seperti ulin, meranti, dan bengkirai, juga pohon berbatang keras seperti duku, durian, madu, nangka, serta tumbuhan bahan obat-obatan. Selain itu terdapat hamparan luas kebun dan kadang nanas, vanili, lada, kelapa sawit, padi, pisang, serta salak.
Sementara itu, terdapat satwa liar seperti macan dahan, orangutan, kucing dahan, trenggiling, atau babi hutan. Namun, keberadaan pohon dan satwa endemik itu terterancam dengan keberadaan aktivitas penambangan batu bara dan permukiman penduduk. Hanya mitos dan cerita menakutkan mampu meredam aktivitas perusakan lingkungan di Bukit Soeharto. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Legislator Harap Segera Ada Kepala OIKN Definitif untuk Selaraskan Visi-Misi Prabowo

Jokowi Isyaratkan Prabowo yang Teken Keppres Pemindahan Ibu Kota ke IKN

Pembangunan IKN Terhambat, Jokowi Ungkap Penyebabnya

Pengamat Nilai Reputasi Negara Dipertaruhkan Saat Upacara HUT RI di IKN

Nasib Kantor Milik Pemerintah Pusat Saat Ibu Kota Pindah ke IKN

Ibu Kota Pindah ke IKN, GBK dan Monas Tetap jadi Aset Negara

Argumen Otorita Ibu Kota Nusantara Gelar Upacara HUT RI di Dua Tempat

Bangun IKN Sudah Habiskan Duit Rp 37, 41 Triliun

40 Perusahaan Teknologi Global Nyatakan Tertarik Bangun IKN

Realisasi Anggaran untuk Pembangunan IKN Capai Rp 4,3 Triliun
