Sejarah Asal Mula Orang Jaton Minahasa


Ilustrasi zaman perang Jawa atau perang Diponegoro. (Foto/wikipedia.org)
MESKI kas terus terkuras dan korban terus berjatuhan, Jenderal HM de Kock tak pernah berhenti untuk terus mengejar pasukan Diponegoro.
Pada 1828, Panglima Perang sekaligus Penasehat Agama Dipanegoro, Kyai Modjo ditangkap Belanda dan diasingkan ke daerah terpencil. Mulanya, dari Jawa ia dibuang ke Batavia (Jakarta).

"Tak lama di Batavia, Kyai Modjo dan pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara," tulis buku 'Khazanah Islam, Perjumpaan Kajian dengan Ilmu Sosial' halaman 122.
Modjo dan pengikutnya tiba di Minahasa pada 1828. Dengan cepat meraka bersosialisasi dengan masyarakat setemapt. Saking dekatnya, 63 pengikut Modjo yang tersisa menikahi wanita asli Minahasa untuk melanjutkan keturunan.
Setelah mengasingkan Modjo dan pengikutnya, Belanda menjadikan Minahasa sebagai tempat pengasingan favorit tahanan politiknya. Tercatat, penentang VOC dari Sumatera, Kalimantan, dan Maluku juga dibuang ke sana. "Termasuk Pangeran Perbatasari dari kerajaan Banjar yang ditangkap VOC saat berada di Kutai," tulis buku tersebut.
Minahasa mendadak ramai, para tahanan politik dan penduduk setempat menjalin hubungan emosional yang dekat. Beragam suku yang berada disana tak bisa menghindari nikah silang atarsuku. Dari pernikahan itulah kelak lahir etnis di daerah Tondano atau kampung Jawa. Percampuran tersebutlah yang mempengaruhi budaya, kesenian hingga bahasa Jawa di Tondano.
Pengaruh Bahasa
Kinayati Djojosuroto dalam risetnya mengungkapkan bahwa bahasa Jaton berasal dari perpaduan bahasa Jawan dan Minahasa. Ia mengambil contoh beberapa konsonan kata yang sering diucapkan masyarakat Jaton.
Pribahasa endonomi sego wia kure' (ambil nasi di belanga), minemo lukuni lepo (sudah selesai membajak sawah), siwola jangan gudangan (buatkan sayur gudangan), endoni nendok wia ki petarangan wo tu godoken ale (ambil telur dipetarangan lalu rebuslah).
Kinayati memyadari kata-kata itu sekarang mulai tergerus zaman. Namun ia tetap optimis dan akan mempertahankan warisan leluhurnya.
"Kami berusaha melanjutkan warisan tradisi yang ditinggalkan leluhur kami. Apa yang dinilai baik akan kami lestarikan," kata Fadhila Djojosuroto, generasi ke-8 keturunan pasukan Kyai Modjo seperti dilansir Kompas. (*)
Baca Juga: Waruga Sawangan, Cara Penguburan pada Suku Minahasa
Bagikan
Berita Terkait
GEMFest 2025 Berhasil Menyulap Kesenian Gamelan Jadi Gemerlap dan Kekinian

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Kapan Malam 1 Suro 1959? Ini Tanggal dan Makna Spiritualnya

Korea Selatan kembali Gelar Adu Banteng, Aktivis Hewan Langsung Bereaksi Lempar Kecaman

Tradisi Murok Jerami Desa Namang Resmi Diakui Jadi Kekayaan Intelektual Khas Indonesia

Lebaran Sapi, Tradisi Unik Warga Lereng Merapi Boyolali Rayakan Hewan Ternak

Filosofi Tradisi Kutupatan Jejak Peninggalan Sunan Kalijaga

4 Tips Prank April Mop Sukses Mengundang Gelak Tawa

Tradisi Sungkeman sebelum Puasa Ramadan di Indonesia, Simak Beberapa Manfaatnya

Mencari Jelmaan Putri lewat Tradisi Bau Nyale, Budaya Khas Suku Sasak
