Rencana Hukuman Mati Cuma Jargon Politik Jaksa Agung

Alwan Ridha RamdaniAlwan Ridha Ramdani - Kamis, 04 November 2021
Rencana Hukuman Mati Cuma Jargon Politik Jaksa Agung

Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Foto: Kejagung)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih.com - Pernyataan penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, pada terduga kasus korupsi, terutama Jiwasraya dan Asabri, dinilai bukanlah opsi solutif dan efektif dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyebut, apa yang disampaikan Burhanuddin hanyalah sebuah jargon politik untuk mempertahankan eksistensinya. Hal ini disebabkan penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung belum optimal dan berkualitas.

"Entah itu presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung), pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik," ujar Kurnia, Kamis (4/11).

Baca Juga:

Wacanakan Hukum Mati Koruptor, Jaksa Agung Dinilai Alihkan Isu Ganda Riwayat Pendidikan

Apalagi, lanjut Kurnia, kalau berkaca pada kualitas penegakan hukum yang dilakukan, hasilnya masih buruk.

"Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," lanjutnya.

Ia mengingatkan, khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhayksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari dengan menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah.

"Masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi," katanya.

Dalam catatan ICW hukuman penjara masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.

"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun," lanjut Kurnia.

Persoalan wacana hukuman mati ini pun dikritisi Pakar Hukum Universitas Pelita Harapan, Rizky Karo Karo. Jika pidana mati dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih berlaku (asas legalitas) dengan syarat dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.

"Jika melihat dari Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU P Tipikor, Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku," kata Rizky.

Rizky menyebut, hukuman mati bisa dilakukan pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Jaksa Agung. (Foto: Kejagung)
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Foto: Kejagung)

Menurutnya, tidak semua tindak pidana kasus korupsi dapat didakwakan dengan Pasal 2 ayat (2) UU P Tipikor. Adapun syarat keadaan tertentu dalam pasal tersebut, lanjutnya, harus diteliti hubungan hukumnya/hubungan sebab akibatnya sehingga dapat dituangkan dalam surat dakwaan JPU dalam perkara a quo secara jelas, cermat dan lengkap.

"Jadi, kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan penuntutan harus dilakukan sesuai prosedur hukum disertai bukti yang cukup (due process of law)," katanya.

Ia mengatakan, tugas dan fungsi Jaksa untuk melakukan penegakan hukum secara tepat menjadi hal yang dinantikan masyarakat, khususnya dalam pengembalian kerugian keuangan negara, dan wajib dilakukan secara independent.

"Walaupun pidana mati masuk ke dalam dakwaan dengan model dakwaan tertentu (tunggal, alternatif, kumulatif, subsidiair, kombinasi) suatu perkara, namun Majelis Hakim pemeriksa perkara yang akan menjatuhkan vonis, apakah memang pantas divonis dengan pidana mati atau tidak," ujarnya.

Pengamat Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyebut bahwa hukuman mati selama ini belum terbukti memberikan efek jera bagi para koruptor. Seharusnya dalam penegakan hukum kasus korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian dan lebih baik hukuman seumur hidup.

"Keterkaitan hukuman mati dan efek jera memang belum bisa dibuktikan. Seharusnya memang dalam korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian daripada hukuman mati. Hukuman seumur hidup atau 20 tahun juga cukup," kata Akbar. (Knu)

Baca Juga:

Jaksa Agung Kaji Penerapan Hukuman Mati untuk Koruptor, Firli: Perlu Didukung

#Dugaan Korupsi #Kasus Korupsi #Hukuman Mati #Jaksa Agung
Bagikan

Berita Terkait

Indonesia
KPK Beberkan Alasan Penyegelan Rumah Kajari Kabupaten Bekasi
Supaya tidak ada yang berubah, tidak ada yang memindahkan barang atau apa pun yang ada di ruangan tersebut.
Dwi Astarini - Sabtu, 20 Desember 2025
KPK Beberkan Alasan Penyegelan Rumah Kajari Kabupaten Bekasi
Indonesia
2 Jaksa HSU Diduga Terima Uang Rp 1,13 Miliar dari Kasus Pemerasan
Keduanya diduga menerima uang saat jadi perantara maupun di luar perantara Kepala Kejari Hulu Sungai Utara, Albertinus Parlinggoman Napitupulu (APN). ?
Dwi Astarini - Sabtu, 20 Desember 2025
2 Jaksa HSU Diduga Terima Uang Rp 1,13 Miliar dari Kasus Pemerasan
Indonesia
KPK Tetapkan Bupati Bekasi dan Ayahnya Tersangka Suap Ijon Proyek
KPK menetapkan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, ayahnya HM Kunang, dan pihak swasta sebagai tersangka kasus suap ijon proyek senilai Rp 9,5 miliar.
Ananda Dimas Prasetya - Sabtu, 20 Desember 2025
KPK Tetapkan Bupati Bekasi dan Ayahnya Tersangka Suap Ijon Proyek
Indonesia
KPK Bongkar Skenario Jaksa Banten Peras WN Korea Selatan Berkedok Tuntutan Berat
Dalam operasi tersebut, KPK berhasil mengamankan uang tunai senilai Rp 900 juta yang diduga sebagai uang hasil pemerasan
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 20 Desember 2025
KPK Bongkar Skenario Jaksa Banten Peras WN Korea Selatan Berkedok Tuntutan Berat
Indonesia
Rumah Kajari Bekasi Disegel KPK, Jejak 'Panas' OTT Bupati Ade Kuswara Kunang Merembet ke Cluster Pasadena
KPK menyegel rumah Kajari Kabupaten Bekasi dan menyita uang ratusan juta terkait OTT Bupati Ade Kuswara Kunang
Angga Yudha Pratama - Jumat, 19 Desember 2025
Rumah Kajari Bekasi Disegel KPK, Jejak 'Panas' OTT Bupati Ade Kuswara Kunang Merembet ke Cluster Pasadena
Indonesia
Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang Ditangkap KPK, Ketahui Rekam Jejaknya
Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang ditangkap KPK dalam OTT. Berikut profil lengkap, latar belakang pendidikan, dan perjalanan politik politikus muda tersebut.
Ananda Dimas Prasetya - Jumat, 19 Desember 2025
Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang Ditangkap KPK, Ketahui Rekam Jejaknya
Indonesia
Selain Banten dan Kalsel, KPK Juga Lakukan OTT di Bekasi
Budi menjelaskan, pihaknya membekuk sekitar 10 orang dalam OTT di Bekasi
Angga Yudha Pratama - Kamis, 18 Desember 2025
Selain Banten dan Kalsel, KPK Juga Lakukan OTT di Bekasi
Indonesia
KPK Segel Ruang Kerja Bupati Bekasi Ade Kuswara
Penyegelan dilakukan tiga penyidik KPK terhadap dua akses pintu ruang kerja bupati. Aksi tersebut berlangsung singkat dan disaksikan petugas keamanan setempat.
Dwi Astarini - Kamis, 18 Desember 2025
KPK Segel Ruang Kerja Bupati Bekasi Ade Kuswara
Indonesia
Selain di Banten, KPK Juga Tangkap Jaksa di Kalsel
Dalam OTT di Kalsel, KPK tidak hanya menangkap satu jaksa melainian tiga orang jaksa struktural
Angga Yudha Pratama - Kamis, 18 Desember 2025
Selain di Banten, KPK Juga Tangkap Jaksa di Kalsel
Indonesia
KPK Tangkap Jaksa di Banten, Sita Uang Rp 900 Juta
Adapun jaksa yang terjaring OTT ini diduga bertugas di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten
Angga Yudha Pratama - Kamis, 18 Desember 2025
KPK Tangkap Jaksa di Banten, Sita Uang Rp 900 Juta
Bagikan