Perang Pandan, Tradisi Menyakitkan untuk Hormati Dewa Perang
Meskipun terlihat menyakitkan, masyarakat Tenganan bangga menjalankan tradisi ini (Foto: budayabaliyay.blogspot)
Untuk menghormati Dewa Perang, masyarakat Tenganan, Karangasem, Bali, memiliki sebuah tradisi yang terbilang menyakitkan. Perang Pandan, atau biasa juga disebut Mekare-kare, adalah nama tradisi tersebut.
Masyarakat Tenganan memiliki kepercayaan berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Jika masyarakat Bali menganut kepercayaan Hindu, Masyarakat Tenganan menganut Hindu Indra. Perbedaan dari kepercayaan tersebut terletak pada konsep kasta. Hindu memikirkan Kasta, sedangkan Hindu Indra tidak.
Dewa Indra (Dewa Perang) adalah dewa tertinggi masyarakat Tenganan. Mereka juga percaya bahwa Dewa Indra memberikan desa yang mereka tempati sebagai hadiah. Untuk itu, mereka menjalankan tradisi Perang pandan sebagai ritual penghormatan kepada sang Dewa Perang.
Seperti layaknya sebuah perang, tradisi ini dilakukan dengan memperlihatkan pertarungan antarpria di desa Tenganan, tepatnya di depan Bale Agung. Terkadang satu lawan satu, terkadang berpasangan. Lawan ditentukan sesuai postur tubuh.
Dengan bertelanjang dada, para pria memakai sarung khas Bali (kamen) pada ritual ini. Senjata yang digunakan berupa pandan, dipegang di tangan kanan. Meskipun senjatanya pandan, yang menyakitkan pada ritual ini adalah terdapat duri pada pandan tersebut. Sementara itu, tangan kiri mereka memegang perisai bundar yang terbuat dari rotan.
Sebelum bertarung, para lelaki menenggak tuak terlebih dahulu dengan menggunakan daun pisang. Setelah itu, mulailah mereka bertarung untuk menghormati Dewa Indra.
Saat bertarung, bagian yang boleh diserang hanyalah punggung, dada, dan leher. Bagian muka dilarang untuk diserang. Para peserta akan dianggap hebat jika bisa melukai bagian leher dan ketiak lawan, lantaran bagian tersebut sulit untuk diraih.
Tradisi ini tidak menjadi kewajiban untuk semua orang yang tinggal di desa Tenganan.Akan tetapi, tetap saja semua pria di desa tersebut ingin berpartisipasi dalam tradisi ini. Bahkan, ada juga anak-anak SD yang ikut ambil bagian karena merasa bangga.
Meskipun ini menjadi pertarungan menyakitkan, di akhir acara, para peserta tidak bermusuhan. Mereka saling mengobati luka dengan kunyit. Setelah acara tersebut pun mereka makan bersama dalam satu wadah (megibung).
Baca juga artikel lainnya tentang tradisi di sini: Kisah Perayaan Peh Cun: Kenang Menteri Tiongkok Kuno yang Bunuh Diri.
Bagikan
Berita Terkait
Pengusaha Desak Pemerintah Atur Airbnb, Bisa Contoh Singapura
Red Flag, Kasus HIV/AIDS Denpasar Tembus 17 Ribu Terbanyak Usia Produktif
Thailand Bakal Bersihkan Ranjau Darat di Perbatasan Kamboja, Negara ASEAN Diminta Memantau
Donald Trump Jadi Penengah Ketegangan Kamboja dan Thailand
Bali Bakal Kendalikan Investor Asing, Rental Kendaraan dan Villa Bakal Ditertibkan
AS Kerahkan Kapal Induk ke Karibia, Venezuela Mobilisasi 200.000 Personel Militer
Menenun Cerita Lintas Budaya: Kolaborasi Artistik Raja Rani dan Linying
Israel Terus Tolak Pengiriman Bantuan Kemanusian ke Gaza Saat Gencatan Senjata
Menlu Tegaskan Indonesia Siap Berpartisipasi di Pasukan Keamanan Internasional Buat Gaza, Tapi Ada Syaratnya
Kondisi Gaza Kian Parah, Kerusakan Bangunan Capai 81 Persen