Pemulasaraan Jenazah Lewat Tradisi Mepasah di Desa Trunyan Bali


Tradisi Mepasah masih dilakukan di Desa Trunyan, Bali. (Foto: X/@huedaya)
Merahputih.com - Keyakinan dan tradisi turun temurun mempengaruhi segala lini kehidupan, termasuk urusan pemulasaraan jenazah. Tradisi yang menarik terjadi di Desa Trunyan di mana mayat tidak dikubur melainkan diletakkan begitu saja dengan ritual tentunya.
Pemulasaraan mayat di Desa Truyan disebut Mepasah. Bukan dikremasi (Ngaben) atau dikubur, jenazah warga di Desa Trunyan akan dibaringkan di dalam ancak sanji, alias sangkar bambu membentuk prisma.
Menariknya, kendati jenazah hanya dilindungi dengan ancak saji, kondisi lingkungan pemakaman mepasah tidak mengeluarkan bau busuk. Melainkan aroma wangi. Aroma wangi yang mendominasi tersebut bersumber dari pohon besar Taru Menyan yang area pemakaman. Inilah asal muasal sebutan Desa Trunyan.
Dilansir dari laman Indonesia.go.id, ada kisah legenda di balik tradisi Mepasah, bahwa dahulu terdapat Dewi yang turun dari langit ke bumi untuk mencari tahu sumber bau harum yang berasal dari pohon tersebut.
Ia adalah Dewa Tertinggi bagi pemeluk Hindu-Trunyan, yakni Ratu Sakti Pancering Jagat, ia memberikan perintah untuk mengurangi dampak harum pohon taru menyan yang menyebar ke mana-mana.
Baca juga:
Terlepas dari muasal cerita legendanya. Jenazah yang akan dikebumikan, disucikan dengan air hujan. Kemudian dibaringkan di tanah dan dibungkus dengan kain putih kecuali wajah.
Lalu dibawa di area pemakaman dan seiring waktu mengalami dekomposisi secara alami. Lalu menyisakan tulang dan tengkorak. Kemudian kumpulan tengkorak dan tulang akan dipindahkan di atas media batu.
Dalam melakukan tradisi Mepasah, ada teknik tertentu berdasarkan kategori umur, status, cara kematian, dan kondisi jasad saat warga Trunyan meninggal.
Warga akan di-mepasah-kan jika kriterianya sudah berumah tangga, atau masih bujangan (teruna), perawan (debunga), dan anak kecil yang telah tanggal gigi susunya (mekutus).
Baca juga:
Ritual Tiwah, Prosesi Pemakaman pada Suku Dayak Ngaju
Kriteria lainnya adalah penyebab meninggalnya adalah hal yang normal atau wajar, seperti sakit biasa atau usia tua.
Desa Trunyan memiliki tiga kategori tempat pemakaman yakni Sema Wayah, Sema Nguda, dan Sema Bantas. Pada lokasi Sema Wayah, tempat ini diperuntukan tradisi Mepasah.
Tempat pemakaman ini hanya terdiri dari tujuh petak saja. Artinya, setiap jenazah yang sudah lama diletakkan akan dipindahkan berganti dengan janazah yang baru.
Baca juga:
Passiliran Tradisi Pemakaman Bayi dalam Batang Pohon Desa Kambira, Toraja
Pemindahan jenazah yang lama pun dilakukan dengan ritual. Biasanya dilakukan sembahyang untuk memohon izin kepada penghuni lama, dan semua tulang-belulang penghuni lama dipindahkan ke media batu di samping luar petak, barulah jenazah baru itu akan ditempatkan di petak kosong tersebut.
Lalu, ada Sema Nguda. Diperuntukan untuk tradisi mepasah khusus kelompok orang-orang yang berstatus belum menikah dan anak-anak meketus.
Namun di sini sebagian jenazah bayi yang belum memasuki fase meketus dimakamkan dengan cara kubur tanah. (Tka)
Bagikan
Tika Ayu
Berita Terkait
Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa

AXEAN Festival 2025: 43 Penampil Siap Ramaikan Panggung Musik Asia di Bali

Selundupkan Kokain ke Bali Pakai Dildo di Kemaluan, Cewek Peru Dijanjikan Upah Rp 320 Juta

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Penerbangan Dari dan Ke Bali Alami Keterlambatan dan Penundaan Akibat Lewotobi Meletus

PDIP Lanjutkan Konsolidasi Partai di Bali, Diklaim Bukan Kongres

BMKG Prediksi Fenomena Suhu Dingin Bali Sampai Agustus, Terendah 19 Derajat Celcius

Lirik Lagu Kuli Daki – Bagus Wirata Lengkap dengan Makna: Bicara Cinta dan Realita

Gelombang Tinggi dan Jarak Pandang Tipis ‘Gagalkan’ Evakuasi Korban Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali

Peringatan Dini Gelombang 4 Meter Perairan Bali Hingga Minggu 6 Juli
