Pemerintah Tepat Harga BBM Tak Diturunkan, Ekonom UI: Daripada Munculkan Gejolak
Karyawan melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) kendaraan konsumen di SPBU Coco Plaju, Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Merahputih.com - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Profesor Sulastri Surono menilai keputusan untuk tidak menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu sudah tepat dilakukan karena saat ini atau hanya dalam waktu sekitar dua bulan, harga minyak mentah kembali melonjak lebih dari 100 persen.
"Sebenarnya kan memang masih berfluktuasi. Jadi memang sudah seharusnya, diamkan saja harga waktu itu, tidak diturunkan. Daripada akhirnya malah memunculkan gejolak," kata Sulastri di Jakarta, Rabu (10/6).
Baca Juga:
Saat ini, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus sudah mencapai 42,30 dolar AS /barel di London ICE Futures Exchange melonjak 19,2 persen dibandingkan pekan sebelumnya.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), tambahnya, naik pada level 39,55 dolar AS/barel atau menguat 10,7 persen dalam sepekan.
Jika harga BBM ikut naik turun, menurut Sulastri, justru akan memunculkan gejolak, padahal dalam masa pandemi, permintaan juga menurun drastis.
Bahkan, dalam perhitungan inflasi, bahan pokok yang memiliki kontribusi besar, harganya juga cenderung turun. "Apalagi permintaan akan transportasi selama pandemi juga jauh berkurang," katanya melalui keterangan tertulis.
Sulastri menilai harga BBM sebaiknya memang dalam posisi wait and see saja serta harus dilihat bagaimana tren selanjutnya.
"Ini kan pengaruh dari luar negeri, OPEC. Jadi masih berfluktuasi. Apalagi kalau pada level 40 dolar AS, belum berpengaruh ke APBN," kata dia.
Selain itu, pemangkasan produksi 9,7 juta barel/hari juga harus dilihat kelanjutannya, apalagi persaingan negara-negara OPEC dalam pasar yang oligopoli, sering terjadi persaingan.
Baca Juga:
Kementerian BUMN Siagakan RS Pertamina untuk Isolasi Pasien Corona
Di antara negara-negara OPEC, sebagaimana dikutip Antara, sering terjadi persaingan yang sebenarnya merugikan sendiri, yaitu cut throat competition (persaingan memotong leher).
"Jadi sebaiknya memang kita tunggu saja harga minyak ke depan. Harga BBM dalam negeri, sebaiknya juga didiamkan saja dahulu. Apalagi ekonomi kita baru digerakkan kembali," kata Sulastri. (*)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
[HOAKS atau FAKTA]: Menkeu Purbaya Sebut Pertamina Kirim Minyak ke Singapura dan Dijual Lagi ke Indonesia
Perusahaan Otomotif Jepang Bakal Investasi Bangun Pabrik Etanol di Indonesia, Mobil Jepang Sudah Bisa Pakai BBM Capuran Etanol
Etanol 10 Persen di BBM Diwajibkan Mulai 2027
SPBU Swasta Diklaim Siap Negosiasi Dengan Pertamina Buat Lancarkan Pasokan BBM
Pelaku Dugaan Korupsi Kasus Mesin EDC Bank BRI, Sama Dengan Kasus EDC Pertamina
Bahlil Dikecam Karena 'Memaksa' SPBU Swasta Beli BBM Pertamina, Pengamat Nilai Ada Kekacauan Logika Tata Kelola Energi
Warga Berebut BBM dari Truk Tangki Terguling, 30 Orang Tewas 40 Luka-Luka
Nasib E10 Tergantung Tebu dan Pabrik Gula, Begini Peringatan Profesor ITB
Pakar Otomotif ITB Jelaskan Higroskopis Beda Jauh dari Korosif, Jamin E10 Ramah Mesin
BBM E10 Rusak Mesin? Guru Besar UB Bongkar Mitos yang Bikin Rugi