Lewat Amandemen Ketiga, Kewenangan dan Kedudukan MPR Dilucuti


Gedung MPR (MerahPutih Foto/Rizki Fitrianto)
MerahPutih Politik - Pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998 dinamika politik dan sistem tata negara di tanah air mengalami perubahan radikal. Posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula adalah lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara. MPR juga tidak memiliki kewenangan untuk membuat pruduk hukum.
Sejak reformasi tahun 1998, sudah terjadi empat kali perubahan (amandeman) UUD 1945. Perubahan pertama dilakukan dalam sidang MPR tahun 1999, kemudian perubahan kedua juga dalam sidang tahunan MPR Tahun 2000. Untuk perubahan ketiga juga dilakukan dalam sidang tahunan MPR pada tahun 2001 dan perubahan terakhir juga dilakukan pada sidang tahunan MPR tahun 2002.
Bukan hanya posisi dan kedudukannya yang dikebiri, saat ini MPR juga tidak memiliki kewenangan dalam membentuk produk hukum salah satunya adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN). MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi di negara, maka aturan perundang-undangan di dalam tata hukum kenegaraan tidak lagi mengenal istilah Ketetapan (Tap) MPR.
Pada periode reformasi memang masih dikenal adanya Tap MPR namun bukan sebagai peraturan (regeling) melainkan sifatnya hanya terbatas pada penetapan (beschikking), seperti Ketetapan tentang penetapan Wakil Presiden menjadi Presiden jika Presiden berhalangan tetap.
Lantas bagaimana kronologis kewenangan dan kedudukan MPR dilucuti?
Sejak era reformasi tahun 1998 hingga kini perubahan (amandemen) UUD 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 kali. Secara spesifik kedudukan dan kewenangan MPR RI diubah pada amandemen ketiga pada tahun 2001.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen ketiga berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar," demikian bunyi pasal baru tersebut.
Sebelum diubah, posisi dan kedudukan MPR RI adalah penjelmaan perwakilan rakyat di dalam parlemen. Hal tersebut bisa dilacak dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan Indonesia.
Dalam UUD 1945 yang ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 kedudukan MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Hal tersebut terlihat dalam pasal 1 ayat (2) berbunyi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Setelah 17 tahun reformasi, wacana pengembalian posisi dan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi di tanah air lantang disampaikan Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri. Setidaknya pada tahun 2015 putri Presiden Sukarno sudah dua kali mengusulkan kembali agar kedudukan MPR dijadikan lembaga tertinggi di negara.
Usulan pertama disampaikan pada tanggal 18 Agustus 2015 atau bertepatan dengan hari konstitusi yang disampaikan di gedung MPR. Kemudian usulan kedua disampaikan pada Sabtu 28 November 2015. Bagi Megawati kedudukan MPR harus dikaji ulang dan dikembalikan posisinya sebagai lembaga tertinggi negara.
Bagi Megawati posisi MPR sebagai lembaga tinggi negara tentu saja menghambat laju pembangunan nasional. Sebab saat masih menjadi lembaga tertinggi negara, MPR bisa mengeluarkan produk hukum, salah satunya adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan pedoman dalam pembangunan nasional.
Sebaliknya pada era reformasi, posisi MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan produk hukum yang mengikat dan wajib dijalankan oleh Presiden. Belum lagi kebijakan pembangunan antara pusat da daerah terkadang tidak seirama dan menjadi pemicu tersendatnya pembangunan nasional. Karena itu Mega ingin posisi MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi di tanah air.
"Ini harus dievaluasi," sambung Megawati.
Bukan hanya mengusulkan kedudukan MPR kembali dipulihkan sebagai lembaga tertinggi negara, Megawati juga berkeinginan agar GBHN kembali diberlakukan sebagai pedoman pembangunan nasional. Wacana tersebut muncul ketika tidak adanya kesimbambungan pembangunan yang terjadi antara satu Presiden dengan Presiden berikutnya.
"Saya berkeyakinan terkait dengan kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan GBHN dapat ditegaskan bahwa Indonesia bukanlah sebagai negara liberal yang menyerahkan alokasi ekonomi pada mekanisme pasar," kata Megawati.
Dalam kaitannya dengan pembangunan nasional dirumuskan dalam GBHN oleh MPR. Rumusan tersebut berisi gagasan pembangunan semesta yang bertumpu kepada semangat gotong royong dan berorientasi penuh kepada rakyat dengan Presiden sebagai mandataris MPR. Jika rumusan ini diterima maka pembangunan nasional akan terarah sebab lembaga-lembaga lain tidak mengembangkan kebijakan-kebijakan sendiri.
"Sebab fungsi negara adalah memberikan jaminan sosial, sehingga tidak ada lagi rakyat Indonesia yang kelaparan," demikian Megawati.
BACA JUGA:
- Menimbang Kembali Kedudukan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara
- Pimpinan MPR Soroti Potensi Sengketa di Kawasan Perbatasan
- Ratusan Koleksi Buku Unik Dipajang di Perpustakaan MPR RI
- Hanya Dua Anggota Dewan ini yang Sering Datang ke Perpustakaan MPR RI
- Tak Satupun Anggota MPR, DPR dan DPD RI Berkunjung ke Perpustakaan MPR RI
Bagikan
Bahaudin Marcopolo
Berita Terkait
Megawati Tak Hadiri Upacara HUT ke-80 RI di Istana Negara, Rudy Pastikan Hubungan Beliau dengan Prabowo Baik-Baik Saja

Tepis Rumor Hubungan Retak karena tak Datang ke HUT ke-80 RI, PDIP Ibaratkan Megawati dan Prabowo Kakak Beradik

Hasto Tegaskan Prabowo Masih Percaya Ke Megawati

Megawati Pilih Rayakan HUT RI di Sekolah Partai, Tegaskan Tradisi PDIP Tak Tergantikan

Jadi Sekjen PDIP Lagi, Hasto Tegaskan Bakal Selalu Loyal ke Megawati

Presiden RI ke-5 Megawati Pilih Rayakan Hari Kemerdekaan di Sekolah Partai, Jadi Inspektur Upacara

Panas Dingin Hubungan Megawati-Prabowo Akhirnya Terjawab! Puan Beberkan Alasan Ketum PDIP Tak Hadiri Sidang Tahunan MPR

Prabowo Kasih Pujian dari Soekarno hingga Jokowi, Berhasil Jaga Keutuhan NKRI hingga Selamatkan Indonesia dari Krisis

Megawati Tidak Hadir di Sidang Tahunan MPR, Puan Sebut Dirinya Mewakili Ketum PDIP

Mantan Presiden dan Wapres Hadir di Sidang Tahunan MPR, Tidak Terlihat Megawati Dalam Deretan Kursi
