Konsep Mayat Bayi Dibikin Seni Netizen Sebut "Seniman Sakit Jiwa"
FOTO Instagram #makanmayit
Festival seni yang mengusung tema horor "Makan Mayit" beberapa waktu lalu mulai dikecam banyak netizen. Karya "Makan Mayit" ini dinilai telah memberikan tontonan yang tidak lazim, karena mempertontonkan hal yang tidak wajar. Para netizen juga menyebut, konsep mayat bayi dibikin seni ini dilakukan oleh "Seniman Sakit Jiwa".
Dalam acara ini di antaranya menyajikan puding yang berbentuk menyerupai janin dan otak bayi. Tempat penyajiannya pun piring yang berbentuk boneka bayi, lengkap dengan warna merah layaknya darah segar.
Menanggapi hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Yohana Yembise menilai karya seni Natasha Gabriella Tontey berjudul "Makan Mayit" ini telah melanggar norma kesusilaan.
"Hal itu sangat disayangkan, karya seni anak bangsa seharusnya merupakan ekspresi dari kreativitas yang diciptakan dan mengandung unsur keindahan bukan yang justru melanggar norma kesusilaan, kepatutan, dan agama. Negara ini melindungi anak-anak Indonesia sejak mereka masih dalam kandungan. Hal tersebut tidak tercermin dalam karya seni ini," ujar Yohana Yembise, seperti dilansir Antara, Selasa (28/2).
Dia mengatakan, klaim seniman yang menyebutkan bahan makanan menggunakan air susu ibu (ASI) dan keringat dari ketiak bayi yang dimasukkan ke dalam bahan makanan itu, merupakan suatu hal di luar akal sehat dan tidak lazim untuk dilakukan karena ASI bukanlah konsumsi bagi orang dewasa.
"Penyalahgunaan ASI melalui karya seni yang disebarluaskan melalui pesan visual ini, sangat rentan memberikan dampak negatif bagi masyarakat karena sesuatu yang tidak lazim jika digunakan akan menimbulkan protes di tengah masyarakat," kata Menteri Yohana lagi.
Dia mengatakan karya yang kemudian menjadi viral itu dapat berdampak bagi anak-anak untuk meniru perilaku tersebut, setelah melihat pesan visual ini melalui media sosial.
Menyikapi fenomena tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarluaskan kembali karya seni dimaksud di media sosial.
"Dengan menyebarluaskannya, maka kita telah berkontribusi dalam penyebarluasan konten yang negatif bagi anak-anak," ucapnya.
Setiap orang berhak mengembangkan diri dan dijamin dalam pasal 28 c UUD 1945 ayat 1, namun tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
"Kami juga mendesak kepolisian untuk menindaklanjuti kasus ini karena karya seni ini telah melanggar norma kesusilaan, kepatutan, agama, dan bila terbukti melanggar UU akan dikenakan pasal 27 ayat 1 Undang Undang ITE dan pasal 282 ayat 3 KUHP tentang kesusilaan," paparnya.
Menurutnya, adanya kasus itu memungkinkan muncul modus penjualan organ tubuh yang termasuk ke dalam bentuk perdagangan orang di Indonesia. Apalagi, katanya lagi, sudah banyak kasus serupa terjadi di luar negeri.
Bagikan
Widi Hatmoko
Berita Terkait
Social Mapping: Jejak Kreatif Pengunjung Museum MACAN di Bienal Sao Paulo Brasil
Antara Alam dan Modernitas: Konsep Unik VIP Lounge Art Jakarta 2025
Buka Art Jakarta 2025, Menbud Fadli Zon Janji Kirim Perupa Indonesia Ikut Pameran Internasional
Dari Paris ke Bali, Pameran ‘Light and Shadow Inside Me’ Eugene Kangawa Siap Jadi Koleksi Permanen di Eugene Museum 2026
Dari Bali hingga Korea, Art Jakarta 2025 Hadirkan Arus Baru Seni Kontemporer
Ruang Seni Portabel Pertama Hadir di Sudirman, Buka dengan Pameran ‘Dentuman Alam’
Serunya Lomba Makan Kerupuk Meriahkan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI di Jakarta
ArtMoments Jakarta 2025 Tampilkan 600 Seniman dan 57 Galeri, Angkat Tema 'Restoration'
Emte Rilis ‘Life As I Know It’, Rayakan Kesendirian lewat Pameran Tunggal
Pameran ‘PARALLELS’ di Ubud Art Ground Tampilkan Warisan Seni dalam Perspektif Kontemporer