Insentif Kenaikan PPN Sangat Terbatas, Kelas Menengah Kerja Informal Paling Terdampak
Kanwil DJP Jawa Tengah membuka pelayanan pelaporan pajak di Mal Solo. (Foto: MP/Ismail)
MerahPutih.com - Pemerintah memastikan tetap memberlakukan PPN 12 persen di Januari 2025. Namun, pemerintah juga memberikan insentif untuk mengurangi dampak naiknya PPN ini.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pemerintah berusaha memberikan stimulus yang bersifat inklusif untuk memitigasi dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun depan.
"Pemerintah memang berusaha agar stimulus yang diberikan bersifat inklusif dan menyasar semua kelompok golongan pendapatan. Mulai dari pendapatan bawah, menengah, hingga pendapatan atas,” ujarnya.
Misalnya, bantuan subsidi atau diskon listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA yang diberikan selama dua bulan sejak Januari-Februari 2025 dinilai menjadi salah satu kebijakan yang relatif mempunyai fungsi besar.
Baca juga:
Sekolah dan RS Premium Kena Kenaikan PPN 12%
"Hal ini mengingat pengeluaran rata-rata masyarakat, terutama kelompok pendapat menengah ke bawah, untuk membayar listrik itu relatif besar," katanya dikutip Antara.
Secara persentase, iuran pembayaran listrik, lanjut ia, disebut menjadi penyumbang alokasi terbesar kedua dalam kelompok rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah tangga.
“Namun, memang kemudian isunya adalah relatif terbatasnya durasi yang diberikan pemerintah untuk diskon ini,” ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan insentif yang diberikan pemerintah pada masa pandemi COVID-19, durasi diskon listrik bahkan berlaku sampai sembilan bulan. Beberapa kelompok diskon listrik juga diberikan hingga 100 persen, tetapi pemerintah tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2021.
Meskipun beberapa insentif diberikan pemerintah guna mengatasi dampak PPN 12 persen sudah bagus, tetapi di saat bersamaan jangkauan stimulus itu terbatas karena hanya bisa diimplementasikan terhadap mereka yang bekerja di sektor formal.
"Padahal, tidak sedikit juga kelas menengah yang bekerja di sektor informal, sehingga mereka tak bisa memperoleh pemberian insentif pajak dari pemerintah," katanya.
Ia menyoroti insentif jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang dianggap kurang cocok, apalagi jika dikaitkan dengan upaya menjaga daya beli. Padahal, yang harus dilakukan pemerintah agar warga tidak kehilangan pekerjaan, sehingga bisa terus melakukan konsumsi pada level yang sama.
“Karena insentif tersebut justru baru akan diberikan ketika mereka atau kelas menengah kehilangan pekerjaannya," katanya. (*)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Proses Pengesahan STNK Tahunan Tidak Perlu BPKB, Ini Syarat dan Mekanisme Lengkapnya
Pendapatan Daerah Hilang Besar, Pemprov DKI Dorong Evaluasi Insentif Kendaraan Listrik
Bekas Dirjen Jadi Tersangka di Jaksa Agung, Menkeu: Bantah Lagi Bersih-Bersih Ditjen Pajak
Kejagung Geledah Sejumlah Tempat Terkait dengan Dugaan Korupsi, DJP Hormati Proses Penegakan Hukum
Pajak UMKM 0,5 Persen Bakal Jadi Permanen, Purbaya Kasih Syarat Ini
Kemenkeu Kejar Pengemplang Pajak Nakal, Targetkan Kantongi Rp 20 Triliun
Ratusan Eksportir Sawit Akali Pajak Rp 140 M, Total Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 2 T
282 Eksportir Sawit Akali Pajak Pakai Label POME dan Fatty Matter, Modus Lama Sejak 2021
Pajak Bakal Naik saat Ekonomi Indonesia Tumbuh 6 Persen, Menkeu Purbaya: Rakyat Pasti Senang
Gawat! Menkeu Purbaya Sebut Negara Rugi Rp 70 Triliun jika PPN Turun 1 Persen