Ini Kronologi Teror Penerbitan dan Toko Buku di Yogyakarta

Ilustrasi. (Foto: MerahPutih/Fredy Wansyah)
MerahPutih Nasional - Buku sewajarnya menjadi bahan pembelajaran bagi siapa pun. Tak ayal, buku dikatakan sebagai jendela dunia. Bukan buku tertentu saja, melainkan banyak buku untuk memahami beragam pengetahuan dari berbagai lini kehidupan.
Sayangnya, keberadaan buku-buku "kiri" belakangan ini mendapat teror. Mulai dari teror untuk penerbitan hingga teror terhadap penjualannya. Termasuk teror yang terjadi di Yogyakarta.
Seiring peringatan Hari Buku Nasional, hari ini, Selasa (17/5), Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY), di kantor LBH Yogyakarta, Kotagede, Yogyakarta, membeberkan kronologi peristiwa tersebut.
Di Yogyakarta, menurut salah seorang aktivis MLY Adhe Maruf, tindakan teror terhadap aktivitas literasi menimpa dua penerbit dan satu toko buku, yakni penerbit Narasi di daerah Deresan, penerbit Resist Book di Maguwoharjo, dan Toko Buku Budi di Caturtunggal. Peristiwa itu berlangsung antara hari Selasa dan Rabu, 10 dan 11 Mei 2016.
Selasa, 10 Mei 2016, sekira pukul 10.00 WIB, tiga orang berpakaian sipil mendatangi Toko Buku Budi, dan bertanya-tanya apakah menjual buku "Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula" terbitan Ultimus. Penjual mengatakan bahwa buku itu tidak ada. Sorenya, tiga orang berbeda, dan lima orang lain di hari esoknya mendatangi tempat yang sama. Mereka mengawasi Toko Buku Budi dari sebuah kedai kopi yang bersebelahan dengan toko buku tersebut. “Orangnya beda-beda tapi mobil yang dipakai sama,” kata seorang penjaga Toko Buku Budi.
Di hari yang sama, sekitar pukul 12.00 WIB, dua orang berbadan tegap dan mengenakan jaket menghampiri kantor penerbit Narasi. Mereka mengaku dari intel Polda Yogyakarta dan Polda Jawa Tengah. Hasnul Arifin, pemimpin redaksi penerbit Narasi dan Media Pressindo melayani keduanya. Mereka memberitahu bahwa hari itu ada aksi dari sekelompok massa di kantor Polda DIY dan massa tersebut mengancam akan melakukan razia terhadap buku-buku kiri. Kedua polisi itu datang untuk “mengamankan” kantor penerbit demi menghindari aksi yang berbuntut ricuh bila massa menuju alamat penerbit. Hari itu tidak ada aksi massa di kantor Narasi. Jarak antara kantor penerbit dan Polda DIY hanya 7 menit ditempuh dengan kendaraan.
Kedua intel itu juga bertanya soal buku-buku terbitan Narasi, termasuk buku "Peristiwa 1 Oktober 1965: Kesaksian Jenderal Besar Dr AH Nasution" (2012) dan "Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan DN Aidit 1950-1965" karangan sejarawan Peter Edman. Mereka minta penjelasan tentang kedua buku itu. Hasnul Arifin mengatakan bahwa buku itu adalah buku sejarah. Pihak polisi membawa kedua buku itu sebagai sampel, masing-masing satu eksemplar, “untuk dipelajari oleh atasannya.”
Esoknya, Rabu, 11 Mei 2016, sekira pukul 09.30 WIB, dua orang yang mengaku dari Polsek Sleman mendatangi penerbit Narasi untuk menanyakan buku-buku terbitan Narasi. Arifin menjelaskan bahwa Narasi menerbitkan buku-buku sejarah sembari mengeluarkan beberapa buku terbitannya. Mereka mengambil satu eksemplar buku "Pokok-pokok Gerilya" karangan AH Nasution (2013). Mereka menanyakan buku "Komunisme ala Aidit", tapi dijawab oleh Arifin bahwa sampel buku itu, yang cuma satu-satunya, tidak ada di tangan penerbit karena sudah dibawa oleh intel Polda di hari kemarin.
Siangnya, sekitar pukul 11.00 WIB, seorang yang mengaku Kanit Intel Polres Sleman datang ke penerbit Narasi dan bersikap curiga seperti para polisi sebelumnya. Ia membawa buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karangan Cindy Adam dan "Sarinah" karya Soekarno; keduanya terbitan Media Pressindo. Kanit Intel itu memberi kontak telepon kepada Arifin.
Kamis 12 Mei 2016, sekitar pukul 12.00 WIB, Kanit Intel Polres Sleman menelepon Arifin untuk menegaskan bahwa ia datang hari kemarin ke penerbit Narasi “bukan untuk menyita buku”, tapi “pengambilan sampel” barang cetakan. Sorenya, sekitar pukul 16.00, Kanit Intel menelepon Arifin lagi dan berkata dia sudah bertemu dengan Kapolres Sleman dan kepala bagian operasional Polda DIY, memastikan bahwa “tidak ada penyitaan.”
Sementara, kantor penerbit Resist Book didatangi polisi dan tentara pada Rabu pagi, 11 Mei 2016, yang menanyakan soal buku-buku terbitannya. Tidak ada buku yang diambil. Tetapi, pada malam hari, pihak penerbit memutuskan untuk mengevakuasi buku-buku terbitannya ke “tempat yang lebih aman” guna menghindari aksi yang lebih buruk sambil menunggu situasi lebih kondusif.
“Tindakan aparat keamanan terhadap penerbit dan toko buku di Yogyakarta, serta sejumlah daerah di Indonesia, merupakan aksi teror yang mengarah pada pembungkaman dan pelarangan,” kata Adhe. (Fre)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Kearifan Lokal Jaga Warga Bikin Yogyakarta Cepat Pulih Dari Demo Berujung Rusuh

KAI Daop 6 Yogyakarta Layani 219.400 Penumpang Selama Long Weekend Maulid Nabi

Polisi Diminta Usut Tuntas Kematian Mahasiswa Amikom, Bonnie Triyana: Tidak Ada Alasan yang Membenarkan Kekerasan Aparat Terhadap Pengunjuk Rasa

Pesisir Medan Berpotensi Banjir 22-28 Agustus, Hujan Lebat Akan Guyur DIY

Saat Libur Peringatan HUT ke-80 RI, Daop 6 Yogyakarta Alami Kenaikan Penumpang 5,5 Persen

85.792 Wisatawan Mancanegara Naik Kereta Api Selama Juli 2025, Yogyakarta Jadi Tujuan Tertinggi

Viral, Driver Ojol Dikeroyok karena Telat Antar Kopi, Ratusan Rekan Geruduk Rumah Customer

Film Dokumenter 'Jagad’e Raminten': Merayakan Warisan Inklusivitas dan Cinta dari Sosok Ikonik Yogyakarta

Libur Panjang, KAI Commuter Yogyakarta Tambah 4 Perjalanan Jadi 31 Trip Per Hari

Heboh Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon, Nama Tersangka Penyerebot Sudah di Kantong Polisi
