Budaya Olahraga Warga Indonesia Perlu Diubah
Olahraga malam hari kurangi risiko penyakit jantung. (Foto: Unsplash/Oxana Melis)
MerahPutih.com - Akses dan pengetahuan soal olahraga dalam masyarakat Indonesia diklaim sudah jauh lebih baik. Tetapi, maka masyarakat perlu menjadikan olahraga sebagai sebuah hobi yang ditekuni atau suatu profesi. Terlebih beberapa orang memiliki potensi sensor motorik yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kognitifnya.
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Andhika Raspati, SpKO menjelaskan sejumlah budaya olahraga di Indonesia yang perlu diubah oleh masyarakat, terutama terkait pola pikir dan porsi sesuai kebutuhan tubuh masing-masing.
“Kalau saya lihat, ini dalam konteks Jakarta dulu, saya lihat di Jakarta ini terbagi jadi dua kubu. Ada kubu mereka yang malas berolahraga dan kubu yang terlalu ekstrem olahraga,” kata dr. Andhika Raspati, SpKO di Jakarta, (17/5).
Baca juga:
Andhika yang merupakan menuturkan sebagai seorang konten kreator di bidang kesehatan, ia sering menerima banyak komentar dalam konten yang dirinya unggah di media sosial. Dari komentar tersebut, beberapa orang mengaku malas berolahraga dan hanya melihat olahraga sebagai suatu langkah untuk mengobati penyakit.
Hal ini berakhir pada kondisi di mana seseorang baru memulai olahraga ketika mengalami kegemukan (obesitas), hasil medical check-up (MCU) yang buruk, terkena kolestrol, diabetes atau penyakit lainnya.
Temuannya yang lain, yakni adanya kelompok yang terlalu ekstrem berolahraga. Biasanya ditemukan dalam sebuah komunitas yang mengalami kompetisi toksik (toxic competition) di dalamnya.
Seringkali ditemukan adanya anggota yang merasa ingin mencapai hasil yang sama dengan anggota lainnya, meski menyadari adanya perbedaan kemampuan diri maupun kualitas dan jenis alat-alat yang digunakan selama berolahraga.
“Di komunitas sepeda, itu kita suka rombongan padahal sepedanya berbeda-beda. Ada yang frame-nya enteng, ada yang berat. Padahal tadi, kondisi orang juga beda-beda, mungkin ada yang enggak sehat-sehat banget dan mereka dipaksa selalu bareng. Kalau ketinggalan bisa diledek tiga hari, akhirnya dia enggak mau kalah dan push diri, makanya kalau diperhatikan di pletonan itu banyak yang collaps,” ucap dokter tim nasional balap sepeda Indonesia itu.
Sementara temuan lainnya, yakni adanya orang tua yang terlalu ambisius, sehingga mendorong anaknya fokus menguasai olahraga tertentu yang berujung pada putusnya pendidikan.
“Saya harapkan semua orang bisa berada dalam kondisi tengah-tengah, yang malas tahu kalau olahraga bukan Cuma obat tapi jadi investasi supaya enggak sakit, dan yang ekstrem jangan terlalu berlebihan karena olahraga itu ada aturan main. Jadi semua orang bisa olahraga dengan dosis yang tepat,” katanya.
Co Founder dari Runhood and Running Rage Adystra Bimo menambahkan, budaya lainnya dalam olahraga yang patut diubah yakni adanya pola pikir bahwa melakukan olahraga berarti sebuah hukuman yang perlu dijalani seseorang.
“Seperti ceritaku waktu SMA, dulu olahraga itu masih menjadi hukuman,” katanya. (*)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Trik Dokter Jaga Imun: Vitamin, Hidrasi & Tidur Lawan Penyakit Cuaca Ekstrem
Kejar Target, Cek Kesehatan Gratis Bakal Datangi Kantor dan Komunitas
Indonesia Amankan 3 Emas di Para Badminton International 2025, Siap Buru Gelar Juara Umum
Pramono: Belum Lengkap Jadi Warga Jakarta Kalau Belum Coba Padel, Khususnya Orang Jaksel
Masuk Rangking 5 Besar, Indonesia jadi Poros Pengembangan Woodball Asia dan Dunia
Voli Putri Indonesia Raih Perak di Asian Youth Games 2025, Tim Pelatih Sebut Gaya Permainan Beda Tipis sama Jepang
Fathih Cetak Sejarah, Atlet Balap Unta Pertama Indonesia Tampil di Multievent Internasional
Bintang Muda Taekwondo Indonesia Queenit Kisha Raih Perunggu di Asian Youth Games 2025, Fokus Capai Target Tampil di Youth Olympic Games
Ketum NOC Proaktif Akan Temui IOC Cari Solusi Larangan Gelar Ajang Olahraga Internasional
Sempat Repotkan China, Pelajar Asal Situbondo Bawa Pulang Medali Cabor Sprint Thriathlon di AYG Bahrain 2025