Avoidant Personality Disorder, ketika Seseorang Menghindar untuk Berinteraksi


Ketika merasa malu secara berlebihan. (Foto: Unsplash/Ahmed Nishaath)
KETIKA pertama kali bertemu seseorang, merasa malu merupakan hal yang wajar. Namun, ketika rasa malu tersebut berlebihan dan diiringi rasa takut terhadap penolakan atau kritik dari orang lain, itu menjadi masalah. Kondisi itu mungkin bisa jadi tanda avoidant personality disorder (AVPD).
Mengutip Alodokter, AVPD atau gangguan kepribadian menghindar adalah gangguan yang membuat penderitanya kerap menghindari interaksi sosial dengan orang lain. Orang yang memiliki gangguan kepribadian ini sering merasa malu, cemas, dan takut berlebihan terhadap penolakan dari orang lain.
Berbeda dengan sifat pemalu yang biasa, AVPD membuat mereka sulit untuk menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain. Penyebab AVPD belum diketahui secara pasti. Namun, faktor genetik atau keturunan diduga turut berperan dalam membuat seseorang mengalami AVPD.
Selain itu, AVPD juga bisa terjadi karena pernah mengalami peristiwa traumatis, seperti pelecehan fisik atau emosional, dikhianati oleh orang yang disayangi, pola asuh yang tidak baik, atau kurang mendapat kasih sayang orangtua.
Baca juga:

Umumnya, AVPD muncul ketika masa kanak-kanak dan semakin terlihat ketika beranjak dewasa. Ada beberapa gejala yang bisa diperhatikan, seperti sering merasa cemas, sulit membuat keputusan, enggan melakukan banyak hal, terlalu sensitif dan mudah tersinggung ketika menerima kritik, hingga sulit percaya orang lain.
Meski demikian, tidak semua gejala tersebut menandakan bahwa seseorang pasti memiliki gangguan kepribadian AVPD. Banyak orang yang memang memiliki sifat pemalu dan sulit percaya dengan orang lain, tetapi bukan karena gangguan ini.
Baca juga:

Berbagai gejala tersebut baru bisa dikatakan mengarah ke AVPD ketika sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama dan membuat sulit beraktivitas.
Jika tidak segera ditangani, orang yang mengalami AVPD bisa lebih berisiko untuk mengalami berbagai masalah psikologis lainnya, seperti depresi, serangan panik, agorafobia, atau keinginan untuk bunuh diri.
Untuk menangani kasus ini, psikiater dan psikolog bisa melakukan psikoterapi, termasuk terapi perilaku kognitif. Dengan menjalani terapi, pasien akan dibimbing untuk mengubah pola pikir dan perilakunya menjadi lebih positif, serta belajar untuk berinteraksi dan menerima orang lain. Mereka juga perlu obat-obatan seperti antidepresan dan obat pereda kecemasan. (and)
Baca juga:
Binge Eating Disorder, Umum Terjadi namun Sedikit yang Mengerti
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Alasanya Tambah Jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran
